Tuesday, April 7, 2015

Machiavelli menangkan Italia

Standard
Italia belum menunjukkan taringnya. Tim ini masih bermasalah. Itu terlihat dalam laga melawan Amerika Serikat yang berkesudahan imbang. Bagaimana di putaran kedua melawan Australia? Mampukah Italia meredam strategi Guus Hiddink yang brillian itu? Niccolo Machiavelli masih memberi jaminan, Italia bakal memenangi pertandingan.

Kondisi Italia kini memang perlu bantuan. Sebagai salah satu negara sepakbola, prestasi Italia dalam Piala Dunia 2006 ini amat meragukan kalau tidak bisa dibilang memalukan. Bayangkan, menang jumlah pemain, lawan tim lemah Amerika Serikat, tim ini hanya bisa menyamakan kedudukan 1-1.

Kemenangan 2-0 atas Republik Ceko pun belum terlalu mengesankan. Gol pertama mereka lahir dari set piece bola mati, gol kedua tercipta di penghujung pertandingan setelah Ceko bermain dengan 10 orang sejak pertengahan babak pertama.

Untuk itu, dalam laga melawan Australia yang dipandegani pelatih Belanda Guus Hiddink, Italia perlu mendatangkan ahli strategi politik yang tak diragukan lagi kepiawaiannya, yaitu Niccolo Machiavelli. Tokoh ini bakal mengilhami Italia untuk memenangi pertandingan. Caranya? Lakukan apa saja, halal atau tidak halal. Adakah dengan begitu akan banyak lahir kartu kuning atau kartu merah dalam laga kali ini? Bisa jadi!

Machiavelli memang kontroversial. Pandangannya tentang tahta dan kuasa terus mengundang perdebatan. Ada yang menyebut pandangan itu tidak bermoral dan dekaden, tetapi ada banyak pula yang beranggapan, bahwa apa yang dituliskan laki-laki kelahiran Florence itu adalah realitas politik yang harus terjadi.

Machiavelli taklah bisa dipersalahkan. Ia hanya melihat dan menuliskan tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Secara garis besar ia mengamati pembaruan Raja Prancis Louis XII yang membahayakan, kemudian pola-tingkah teman diskusinya, Pangeran Cesare Borgia yang bengis tapi mampu melatenkan kekuasaan, serta Paus Julius II yang menjaga kekuasaannya melalui pengaruh dan bantuan luar. Berdasar tiga penguasa itulah kemudian laporan demi laporan yang dituangkan dalam karya-karyanya menggegerkan banyak bangsa.



Machiavelli (1469-1527) adalah sosok yang diumpat sekaligus ditiru. Diumpat, karena menyebut Girolamo Savoranola (1452-1598) yang memerintah berdasar kebaikan, ternyata tidak membawa kekuasaannya berjalan baik. Pengkhotbah dan tokoh spiritual terkenal itu memang berhasil memegang kekuasaan, tetapi itu tak membuat rakyat dan penguasa lain mendukungnya. Ia terpaksa harus dilengserkan.

Saat Pangeran Cesare Borgia, putra sulung Paus Alexander VI hasil perkawinan gelap dengan Vannosa de Cataneis memerintah, maka Machiavelli menyebutnya sebagai sebuah pemerintahan ideal. Padahal, pangeran yang ambisius dan rakus dengan kekuasaan itu melakukan apa saja demi langgengnya kekuasaan.

Ia memanfaatkan posisi ayahnya yang menjadi Paus. Ia segera minta diangkat menjadi uskup agung Valencia, dan berikutnya sebagai kardinal (pembantu Paus). Saat berkuasa itu, ia manfaatkan jabatannya secara licik. Umat dijadikan sapi perah. Derma dan kepatuhan digunakan untuk tujuan-tujuan politiknya.

Tahun 1498 Borgia meninggalkan jabatan 'sebagai orang suci'. Ia berpikiran, jabatan itu membuatnya terbelenggu dalam meraih kekuasaan yang diinginkan. Sebab cita-cita pangeran ini adalah membangun kekaisaran baru, mendirikan kerajaan besar di Italia Tengah.

Langkah awal untuk merealisasi ambisinya yang bersifat kedunawian itu, ia pun menikahi seorang putri Prancis. Setelah itu membujuk sang ayah agar ikut terlibat dalam mega proyek untuk membangun sebuah dinasti. Dan ketika sang ayah setuju, maka mulailah petualangan merebut kekuasaan dengan cara biadab dan tak terpuji dilakukan.

Mereka berdua mulai menyusun strategi. Yang mendukung diajak bergabung. Sedang siapa saja yang menentangnya, dengan berbagai cara disudahi hidupnya. Saat-saat itu terjadilah pembunuhan demi pembunuhan, dan peperangan demi peperangan. Malah, uang negara kepausan serta dana hasil pengumpulan umat dimanfaatkan untuk menaklukkan wilayah Romagna.

Adakah Cesare Borgia berhasil mewujutkan ambisinya? Ya! Ia berkuasa penuh. Ia menyusun kekuatan angkatan perang sendiri (kerajaan-kerajaan lain selalu menggunakan tentara bayaran) untuk melakukan invasi dan meredam gejolak dalam negeri, mengefisiensikan pemerintahan, peka terhadap gejolak politik yang ada, dan dengan itu, wilayah yang sebelumnya rawan penyerangan dari kerajaan lain itu menjadi tenang. Ekonomi dan perdagangan berjalan lancar.

Gaya Cesare Borgia memerintah inilah yang disebut Machiavelli sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan yang ideal. Ia tak mempersoalkan bermoral atau tidak. Bagi Machiavelli, untuk melatenkan tahta, jangankan hanya intrik dan teror, berkubang darah sekalipun dianggap sah.

Dalam laga melawan Australia kali ini, adakah teori Machiavelli menghalalkan segala cara itu akan dipraktekkan Italia? Ataukah strategi Lippi yang menyebut pertahanan yang terbaik adalah melakukan penyerangan sebagai aplikasi dari teori itu? Wallahua'lam.

0 comments:

Post a Comment