Italia belum menunjukkan taringnya. Tim ini masih bermasalah. Itu
terlihat dalam laga melawan Amerika Serikat yang berkesudahan imbang. Bagaimana
di putaran kedua melawan Australia? Mampukah Italia meredam strategi Guus
Hiddink yang brillian itu? Niccolo Machiavelli masih memberi jaminan, Italia
bakal memenangi pertandingan.
Kondisi Italia kini memang perlu bantuan. Sebagai salah satu negara
sepakbola, prestasi Italia dalam Piala Dunia 2006 ini amat meragukan kalau
tidak bisa dibilang memalukan. Bayangkan, menang jumlah pemain, lawan tim lemah
Amerika Serikat, tim ini hanya bisa menyamakan kedudukan 1-1.
Kemenangan 2-0 atas Republik Ceko pun belum terlalu mengesankan. Gol
pertama mereka lahir dari set piece bola mati, gol kedua tercipta di
penghujung pertandingan setelah Ceko bermain dengan 10 orang sejak pertengahan
babak pertama.
Untuk itu, dalam laga melawan Australia yang dipandegani pelatih
Belanda Guus Hiddink, Italia perlu mendatangkan ahli strategi politik yang tak
diragukan lagi kepiawaiannya, yaitu Niccolo Machiavelli. Tokoh ini bakal
mengilhami Italia untuk memenangi pertandingan. Caranya? Lakukan apa saja,
halal atau tidak halal. Adakah dengan begitu akan banyak lahir kartu kuning
atau kartu merah dalam laga kali ini? Bisa jadi!
Machiavelli memang kontroversial. Pandangannya tentang tahta dan
kuasa terus mengundang perdebatan. Ada yang menyebut pandangan itu tidak
bermoral dan dekaden, tetapi ada banyak pula yang beranggapan, bahwa apa yang
dituliskan laki-laki kelahiran Florence itu adalah realitas politik yang harus
terjadi.
Machiavelli taklah bisa dipersalahkan. Ia hanya melihat dan
menuliskan tentang apa yang terjadi di lingkungannya. Secara garis besar ia
mengamati pembaruan Raja Prancis Louis XII yang membahayakan, kemudian pola-tingkah
teman diskusinya, Pangeran Cesare Borgia yang bengis tapi mampu melatenkan
kekuasaan, serta Paus Julius II yang menjaga kekuasaannya melalui pengaruh dan
bantuan luar. Berdasar tiga penguasa itulah kemudian laporan demi laporan yang
dituangkan dalam karya-karyanya menggegerkan banyak bangsa.
Machiavelli (1469-1527) adalah sosok yang diumpat sekaligus ditiru.
Diumpat, karena menyebut Girolamo Savoranola (1452-1598) yang memerintah
berdasar kebaikan, ternyata tidak membawa kekuasaannya berjalan baik. Pengkhotbah
dan tokoh spiritual terkenal itu memang berhasil memegang kekuasaan, tetapi itu
tak membuat rakyat dan penguasa lain mendukungnya. Ia terpaksa harus
dilengserkan.
Saat Pangeran Cesare Borgia, putra sulung Paus Alexander VI hasil
perkawinan gelap dengan Vannosa de Cataneis memerintah, maka Machiavelli
menyebutnya sebagai sebuah pemerintahan ideal. Padahal, pangeran yang ambisius
dan rakus dengan kekuasaan itu melakukan apa saja demi langgengnya kekuasaan.
Ia memanfaatkan posisi ayahnya yang menjadi Paus. Ia segera minta
diangkat menjadi uskup agung Valencia, dan berikutnya sebagai kardinal
(pembantu Paus). Saat berkuasa itu, ia manfaatkan jabatannya secara licik. Umat
dijadikan sapi perah. Derma dan kepatuhan digunakan untuk tujuan-tujuan politiknya.
Tahun 1498 Borgia meninggalkan jabatan 'sebagai orang suci'. Ia
berpikiran, jabatan itu membuatnya terbelenggu dalam meraih kekuasaan yang
diinginkan. Sebab cita-cita pangeran ini adalah membangun kekaisaran baru,
mendirikan kerajaan besar di Italia Tengah.
Langkah awal untuk merealisasi ambisinya yang bersifat kedunawian
itu, ia pun menikahi seorang putri Prancis. Setelah itu membujuk sang ayah agar
ikut terlibat dalam mega proyek untuk membangun sebuah dinasti. Dan ketika sang
ayah setuju, maka mulailah petualangan merebut kekuasaan dengan cara biadab dan
tak terpuji dilakukan.
Mereka berdua mulai menyusun strategi. Yang mendukung diajak
bergabung. Sedang siapa saja yang menentangnya, dengan berbagai cara disudahi
hidupnya. Saat-saat itu terjadilah pembunuhan demi pembunuhan, dan peperangan
demi peperangan. Malah, uang negara kepausan serta dana hasil pengumpulan umat
dimanfaatkan untuk menaklukkan wilayah Romagna.
Adakah Cesare Borgia berhasil mewujutkan ambisinya? Ya! Ia berkuasa
penuh. Ia menyusun kekuatan angkatan perang sendiri (kerajaan-kerajaan lain
selalu menggunakan tentara bayaran) untuk melakukan invasi dan meredam gejolak
dalam negeri, mengefisiensikan pemerintahan, peka terhadap gejolak politik yang
ada, dan dengan itu, wilayah yang sebelumnya rawan penyerangan dari kerajaan
lain itu menjadi tenang. Ekonomi dan perdagangan berjalan lancar.
Gaya Cesare Borgia memerintah inilah yang disebut Machiavelli
sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan yang ideal. Ia tak mempersoalkan bermoral
atau tidak. Bagi Machiavelli, untuk melatenkan tahta, jangankan hanya intrik
dan teror, berkubang darah sekalipun dianggap sah.
Dalam laga melawan Australia kali ini, adakah
teori Machiavelli menghalalkan segala cara itu akan dipraktekkan Italia?
Ataukah strategi Lippi yang menyebut pertahanan yang terbaik adalah melakukan
penyerangan sebagai aplikasi dari teori itu? Wallahua'lam.
0 comments:
Post a Comment