Pengertian dan Tujuan Pendidikan Akhlak
Pengertian Pendidikan Akhlak
Dalam
bahasa Arab istilah pendidikan digunakan untuk berbagai
pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta’lim, ta'dib, siyasat, mawa’izh,
'ada ta'awwud dan tadrib. Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib
dan ta'dib sering diartikan
pendidikan. Ta'lim diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat,
pemerintahan, politik atau pengaturan. Muwa'izh
diartikan pengajaran atau peringan. 'Ada ta'awwud diartikan pembiasaan
dan tadrib diartikan pelatihan.
Di
antara mereka yang menjadikan istilah-istilah di atas untuk tujuan pendidikan yakni Ibn Miskawaih dalam bukunya
berjudul tahzibul akhlak, Ibn Sina memberi judul salah satu bukunya kitab al siyasat, Ibn al-Jazzar al-Qairawani membuat judul
salah satu bukunya berjudul siyasat al-shibyan wa tadribuhum, dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu karyanya Ta'lim al-Mula'allim tharik at-ta'alum. Walau
terjadi berbagai perbedaan, namun para ahli tidak mempersoalkan penggunaan
istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua
pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu
kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda
untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih baik.
Memang secara fakta bahwa istilah “pendidikan” telah menempati banyak tempat dan didefinisikan secara
berbeda-beda oleh berbagai pakar, yang banyak dipengaruhi pandangan dunia
masing-masing. Para pakar sependapat bahwa Pendidikan lebih daripada sekedar
pengajaran. Kalau pengajaran dapat dikatakan sebagai
"suatu proses transfer ilmu belaka", namun pendidikan merupakan
"transformasi nilai dan
pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya". Dengan demikian, pengajaran lebih berorientasi pada
pembentukan "tukang-tukang" atau para spesialis yang terkurung
dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya
lebih bersifat teknis. Artinya, perbedaan pendidikan dengan pengajaran terletak
pada “penekanan
pendidikan terhadap pembentukan kesadaran clan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian” (Azra 2000, hlm. 3-4).
Mengambil
makna dari pandangan Azra di atas, artinya pendidikan secara umum memuat sebuah usaha dan cara-cara yang
dipersiapkan oleh pelaku pendidikan (Baca ; guru,
pendidik) dengan persiapan yang matang dan penekanan-penekanan menuju ke arah
proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian yang sesungguhnya tidak
mudah dilaksanakan.
Jika kita melihat sejarah,
“pendidikan” secara istilah, seperti yang lazim dipahami sekarang belum dikenal
pada zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam
menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi
contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan
lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim
itu, telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang Arab
Mekkah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar dan sombong maka
dengan usaha dan kegiatan Nabi mengislamkan mereka, lalu tingkah laku mereka
berubah menjadi menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa, mukmin, muslim, lemah
lembut dan hormat pada orang lain.
Dari kegigihan usaha Rasulullah SAW tersebut, mereka telah
berkepribadian muslim sebagaimana yang dicita-citakan oleh ajaran Islam dengan
itu berarti Nabi telah mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim
dan sekaligus berarti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang
berhasil. Sehingga jelaslah kegigihan tersebut mencerminkan upaya menggerakkan
seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia (Arifin 1993, hlm. ix), yaitu
potensi untuk selalu cenderung kepada kebaikan dan ridha Allah SWT sebagai
jalan yang dapat membahagiakan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Al-Attas mendefinisikan pendidikan adalah suatu proses penanaman
sesuatu ke dalam diri manusia. Suatu proses “penanaman” mengacu pada metode
dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” mengacu pada
metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara
bertahap “sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia”
mengacu pada penerima proses dan kandungan itu (Al-Attas 1994, hlm. 35).
Istilah yang dikemukakan di atas
mengandung tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan, yaitu proses, kandungan,
dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur
tersebut masih begitu saja dibiarkan tidak jelas. Lagi pula cara merumuskan
kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi suatu definisi sebagaimana
di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesnya (Al-Attas
1994, hlm. 35-36). Jadi dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah sesuatu
yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia.
Sedangkan
kata "Akhlak" dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan
akhlak, moral, etika, watak, budi pekerti, tingkah
laku, perangai dan kesusilaan. Akhlak jamak dari khuluq yang berarti adat kebiasaan (al-'adat), perangi,
tabi'at (at-jiyyat), watak (at-thab), adab atau sopan
santun (al-muru’at), dan agama (al-din). Istilah-istilah akhlak
juga sering disetarakan dengan istilah etika. Sedangkan kata yang dekat dengan
etika adalah moral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata akhlak
diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun
terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai,
kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan
dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq
yang tercantum dalam al-Qur’an surat
al-Qalam ayat: 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul: "Sesungguhnya engkau [Muhammad] berada di
atas budi pekerti yang agung" (QS. Al-Qalam [68]: 4). Kata akhlak
banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi SAW, dan salah satunya yang paling
populer adalah : “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni
akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau
kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat
menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut, dalam al-Qur'an : “Sesungguhnya
usaha kamu (hai manusia) pasti amat
beragam” (QS. Al-Lail [92]: 4). Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari
berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan
buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Sedangkan kata etika berasal
dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adat kebiasaan (Bertens, 2004, him. 4). Kata yang dekat dengan etika adalah
moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya mores yang
berarti kebiasaan atau adat. Jadi menurut Bertens kata "etika" sama
dengan etimologi "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaaan. Hanya bedanya
"etika" dari bahasa Yunani dan
"moral" dari bahasa Latin. Dalam bahasa Inggris dan juga bahasa
Indonesia kata etika dan moral sangat berdekatan dengan istilah akhlak
dari bahasa Arab.
Terkait masalah istilah
dalam bahasa Indonesia dikenal istilah "etika dan etiket”. Etika disini berati moral. Etiket berarti sopan santun. Etiket juga
berarti secarik kertas yang ditempelkan pada
botol atau kemasan barang. Jika dari asal usulnya, kedua istilah ini tidak ada
hubungannya. Etika dalam bahasa Inggris adalah ethics sedangkan etika
adalah etiquette. Kedua istilah ini memiki persamaan dan perbedaan.
Dari segi persamaan. Pertama, sama-sama menyangkut perilaku
manusia. Kedua, sama-sama mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata Etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti 1)
Ilmu tentang yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) Kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut
para ahli masa lalu (al-qudama).
Akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan, tanpa
pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas
dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan buruk.
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku atau perangai ('ilm
al-suluk), atau tahzib alakhlaq (falsafat akhlak) atau al hikmah
al-amaliyat atau al hikmat al khuluqiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu
tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya,
agar jiwa bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk
mensucikannya.
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa “Akhlak adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan
yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan lebih lama”
(Mahyuddin 1996, hlm. 4). Sedangkan Asmaran cenderung melihat akhlak merupakan
bawahan sejak lahir yang tertanam di dalam jiwa manusia. Asmaran (1994),
mendefinisikan "akhlak itu adalah sifat-sifat yang dibawah manusia sejak
lahir, yang tertanam di dalam jiwanya dan selalu ada pada dirinya. Sifat itu
dapat dilihat dari perbuatannya. Perbuatannya yang baik disebut akhlak mulia,
dan perbuatan yang buruk disebut akhlak yang buruk atau tercela. Baik atau
buruknya suatu akhlak tergantung pda pembinaannya" (Asmaran 1994, hlm.1).
Ditinjau dari segi sifatnya, akhlak terbagi dua macam, yakni akhlak
yang baik, disebut akhlaqul mahmudah; dan akhlak yang tercela, disebut akhlaqul
mazmumah (Barmawie 2001, hlm.22). Kemudian dilihat dari segi sasarannya,
akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada lingkungan. Akhlaqul mahmudah
juga terbagi lagi beberapa macam, diantaranya adalah:
1.
Al-Amanah, artinya jujur
2.
Al-Afwu, artinya pema’af
3.
Al-khusu’, artinya menghormati tamu
4.
Al-Hilmu, artinya tidak melakukan maksiat
5.
Al-Adli, artinya bersifat adil
6.
Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
7.
Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
8.
Ar-Rahman, artinya bersifat belas kasih
9.
At-Ta’awun, artinya suka menolong (Barmawie 2001, hlm.23).
0 comments:
Post a Comment