Sepanjang sejarah umat manusia masalah
akhlak selalu menjadi pokok persoalan. Karena pada
dasarnya, pembicaraan tentang akhlak selalu berhubungan dengan persoalan
perilaku manusia dan menjadi permasalahan utama manusia terutama dalam rangka
pembentukan peradaban. Perilaku manusia
secara langsung ataupun tidak langsung masib menjadi tolok ukur untuk
mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan akhlak selalu dikaitkan dengan persoalan sosial masyarakat,
karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa.
Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang
diabadikan dalam al-Qur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan dan Saba ’ maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah
menunjukkan bahwa “suatu bangsa yang kokoh akan runtuh apabila akhlaknya rusak” (Suwito 1995, hlm. 1). Dalam sejarah dunia
mencatat misalnya pada masa kaum ‘Ad,
Madyan dan Saba ’ dicatat oleh al-Qur’an
sebagai kaum yang memiliki kualitas akhlak yang rendah. Al-Qur’an senantiasa merujuk kaum ini untuk menunjukkan
rendahnya kualitas akhlak manusia di beberapa bagian dekade sejarah. Pada
dekade selanjutnya, akumulasi simbol
kebobrokan akhlak adalah kaum Fir’aun dan Namrud yang hidup pada masa nabi Musa dan Ibrahim. Simbol selanjutnya yang
disebut oleh al-Qur’an adalah Abu Jahal
dan kaumnya yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw. Pada awal abad ke-20 yakni
setelah Perang Dunia I simbol itu dialamatkan kepada Mustafa Kemal Attatruk
(Ihsan Kasim 2003, hlm. 42). Dalam konteks dunia Barat simbol-simbol lain itu
bisa dialamatkan kepada Sigmud Freud, Nietzsche, Lenin, Kalr Marx, dan Hitler.
Bahkan tatanan yang lebih serius adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh
negara Adi Daya seperti Amerika Serikat, Inggris atau Perancis. Pengaruh meraka berada pada
tataran pemikiran yang secara langsung ataupun tidak langsung dalam merusak akidah, yang berarti dapat
merusak akhlak manusia dalam bertuhan. Mereka yang
menjadi simbol ini memiliki peranan penting dalam bidang pemikiran dan kelompok-kelompok sosial. Sehingga,
muncul tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi secara halus merasuk ke dalam
alam pemikiran para pemikir-pemikir muslim. Pengaruh tersebut sangat penting
dalam membangun “persepsi” manusia dalam memahami sesuatu. Misalnya Sigmud
Freud “menyebut ide-ide agama tentang Tuhan dan alam gaib sebagai ilusi karena
konsep-konsep tersebut muncul dari keinginan
manusia (human wishes) dan bukan dari realitas” (Lihat Erich
1950, hlm.12).
Sebenarnya Allah Swt
menciptakan manusia hanyalah bertujuan supaya manusia itu beribadah kepada-Nya semata, yakni menjadi manusia
pengabdi (Al-Dzariat : 56). Titik tekan
pengabdian adalah akhlak Islam yang sangat menekankan kepada penganut-penganutnya
untuk berakhlak mulia. Dalam hadis disebutkan “inama bu’istu li utammima
markim al-akhlak” (Sesungguhnya Aku diutus di muka bumi ini untuk
menyempurnakan akhlak). Penjelasan hadis ini
berartinya bahwa diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai rasul untuk menyampaikan risalah Allah sejak awal abad ke-7
Masehi secara tegas adalah tugas pokoknya sebagai penyempurna akhlak
manusia.
Akhlak
dalam Islam bertitik tolak dari pengabdian seorang kepada Allah Swt dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad
Saw yang menjadi teladan pribadi terbaik. Semua sifat dari perilaku, pikir dan sikap yang bertentangan
dengan akhlak Nabi Muhammad
Saw dianggap tidak berakhlak. Siti Aisyah r.a bila ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad Saw beliau berkata : “Akhlak Rasulullah itu
adalah al-Qur’an”. Allah Swt berfirman : “Wa innaka la’ala khuluq
‘azhim" (“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) mempunyai akhlak yang paling mulia”) (QS. al-Qalam : 4). Karena itu, ia patut dijadikan contoh “laqad kana lakum fi rasulullah uswatun
hasanah...” (“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu
surf tauladan yang baik bagimu...”) (QS al-Ahzab : 21).
Bukti-bukti kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw di atas
adalah nyata. Bahkan menurut seorang non muslim Michael H. Hart dalam bukunya
berjudul The 1000 a ranking of the Most
influential Persons in History
memberikan pengakuan bahwa “Nabi Muhammad
Saw memperoleh pengakuan sebagai tokoh urutan pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah” (Suwito 1995, hlm. 3).
Kebesaran Nabi Muhammad harus diakui disebabkan oleh ketinggian dan
kemuliaan akhlak yang dimilikinya.
Karena
itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan akhlak Islam pun pada
hakekatnya diarahkan kepada terciptanya manusia yang berakhlak agung dan mulia
seperti Nabi Muhammad Saw. Namun setiap orang memiliki pemahaman dan cara
berbeda untuk mencapai akhlak agung dan mulia sebagaimana yang dimiliki Nabi
Muhammad tersebut.
Kemuliaan akhlak Nabi
Muhammad dalam sejarah membuktikan bahwa umat Islam dalam binaan Nabi Muhammad Saw pernah mengalami masa keemasan yang
mencapai 1300 tahun lamanya. Masa
keemasan ini adalah masa periode Madinah yakni pada masa Nabi Muhammad
sendiri sampai wafatnya. Masa ini yang paling monumental adalah dirumuskannya “Piagam Madinah” yang memuat
perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Ansar dan Yahudi serta
sekutunya yang mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang
menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban‑kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan mereka bersama dalam
kehidupan sosial politik (Suyuthi 1993, hlm. 22). Kenyataan dalam sejarah bahwa
pada periode ini benar-benar tercipta sebuah peradaban gemilang.
Pasca
wafatnya Nabi Muhammad tahap selanjutnya melahirkan 4 (empat) khalifah yang benar – khulqfaurrasyiddin – Abu
Bakar As Sidhiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang merupakan sebuah
tahap revitalisasi ajaran dan penguatan akidah serta
meneruskan proses yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Integritas para
sahabat penerus Nabi ini sangat diakui dalam berbagai perspektif. Seperti ditegaskan oleh C.E.Bosworth bahwa “Periode empat
khalifah dipandang sebagai zaman emas,
suatu zaman ketika kebijakan-kebijakan Islam yang murni berkembang pesat, dan karena
itulah gelar ‘yang mendapatkan bimbingan di jalan lurus’ diberikan kepada
mereka” (C.E. Bosworth 1993, h1m. 24).
Tahapan selanjutnya adalah
masa klasik yang pesat perkembangan terjadi periode 650-1250 M, masa ini oleh para ahli sejarah disebut masa klasik dalam
sejarah perkembangan Islam. Umat Islam pada periode ini disebut “super
power” yang berkuasa di sebagian besar negara-negara di tiga benua : Asia , Afrika dan Eropa. Wilayah kekuasaanya mencapai
Spanyol di sebelah Barat dan India di sebelah Timur, daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak, sebagian Asia
kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia tenggara (Murodi dkk 1995, h1m. 33).
Masa
ini merupakan masa kemajuan pertama yang dimulai dari tahun (550-1000 M, dan sekaligus mengalami masa disintegrasi
kekuatan Islam yang terjadi sejak tahun 1000-1250 M.
Zaman keemasan Islam terjadi dalam berbagai aspeknya yakni masa kekuasaan
Dinasti Abbasiyah lahir 750 M- 1250 M. Pada
kedua periode ini menghasilkan para ahli bidang ilmu yang sangat berpengaruh antara lain : Washil ibn Atha’, Zunnun
al-Mishri, Abu Yazid al Busthami, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibnu
Tufail, Ibnu Rusyd, Imam Al Ghazali, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, Ibn
Hanbal, al Asyari, al Kindi, al Razi, al Farabi, al Maturidi dan Ibn Sina. Tokoh-tokoh ini menjadi simpul sejarah dunia
Islam yang secara komprehensif bergerak dalam bidang dakwah Islam dan kehidupan
nyata secara totalitas. Tokoh-tokoh ini
benar-benar signifikan terutama membangun keseimbangan antara rasionalitas dan spritualitas. Tokoh-tokoh ini
selain kuat dalam bidang pemikiran, juga kuat di bidang rasa, sehingga tidak dapat diragukan lagi bahwa mereka juga
tergolong orang yang memiliki akhlak yang tinggi.
Namun sesudah masa ini, umat Islam dilanda perpecahan
dan kejumudan membawa kemunduran. Kondisi
ini disebabkan selain daerah-daerah yang tadinya berada ditangan umat
Islam menjadi jajahan Barat, pada masa ini tidak banyak diketemukan lagi
tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti masa sebelumnya yang memiliki akhlak
tinggi.
Walau setelah masa ini, sempat memunculkan ide-ide
kebangkitan dan tokoh-tokoh pembaharu yang
membawa persatuan umat pada masa tiga Dinasti Besar (Disnati Turki Usmani, Safawi dan Mughol), namun pada awal abad
ke-19 kekuasaan, wibawa dan kemakmuran tiga dinasti Islam tersebut
berangsur menurun dan mundur. Beriringan dengan itu, banyak wilayah dunia Islam
seperti benua Afrika, Timur Tengah dan India muncul pemikir-pemikir pembaharuan
seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Hasan al Bana dan Bediuzzaman Said Nursi1.
Memang kebangkitan itu begitu sulit dicapai karena sampai sekarang
diakui langsung atau tidak langsung, mereka yang berusaha keluar dari dominasi
Barat masih menemui kesulitan yang sangat mendalam (Bandingkan uraian Harun, 1990,
hlm. 12-14). Disamping gagasan pembaharuan, para tokoh ini secara konsisten menjelaskan mengenai “hari akhir” dan penguatan akidah
islamiah. 2
Salah seorang tokoh yang konsisten terhadap permasalahan umat di atas
adalah Said Nursi dari Turki salah satu tokoh penting pada akhir abad ke-19. Said Nursi hadir untuk menjadikan umat ini
beriman dan berakhlak mulia dan kembali berjaya sebagaimana jayanya umat Islam
dahulu dan dapat mengamalkan agama sebagaimana para sahabat, Imam Malik
mengatakan: "Tidak akan pernah
menjadi baik umat pada kurun (abad)
terakhir ini kecuali dengan cara perbaikan pada kurun umat yang terdahulu,
yakni cara yang dibuat oleh Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat"
(Hasan 2004, hlm.735). Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: "Sebaik-baik
manusia adalah pada abadku (sahabat) kemudian setelahnya (tabi'in) kemudian
setelahnya (tabi'ut tabi'in)" (HR. Bukhari, Muslim). Ahmad dan Al-Makki
(1998, hlm. 38) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masa sahabat adalah
kurang lebih 120 tahun setelah bi'tsah atau wafatnya sahabat terakhir
yaitu Abi Thufan ra. Kemudian orang-orang setelahnya, yaitu masa setelah
sahabat adalah tabi'in masanya sekitar 70-80 tahun. Kemudian orang-orang setelah tabi'in adalah pengikut tabi'in, masanya sekitar 50-220 tahun.
Said Nursi muncul sebagai pembaharu yang ingin mengadakan perbaikan untuk “menyelamatkan iman dan
Islam”. Said Nursi memiliki karakter
pemikiran yang memihak kepada keimanan, pemahaman al-Qur’an, hari akhir dan integralitas keilmuan. Said Nursi adalah sosok
pemberani dan gigih memperjuangkan umat Islam di Turki pada masa akhir
kerajaan Turki Usmani yang mencetuskan gagasan pembelaan terhadap agama dan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Said Nursi
merupakan salah satu orang besar yang berani menghadapi dan
menyelamatkan umat manusia dari berbagai peristiwa berdarah dan penyimpangan
terhadap fitrah manusia. Said Nursi juga menghalangi manusia agar tidak
terjatuh ke dalam atmosfir kehancuran dalam kebudayaan mereka (Ihsan Kasim 2003, hlm. v). Said Nursi adalah salah satu tokoh
yang mampu bertahan dari berbagai upaya Barat “menghancurkan” umat Islam
dan akhlak umat. Bahkan sampai muncul
Republik Turki, ia tetap konsisten berjuang menentang sekuleriasasi di Turki
hingga menghasilkan sebuah karya “Risale-i
Nur” yakni tulisan setebal 6000 halaman yang memuat pemikiran-pemikiran
tentang esensi keimanan dan nilai-nilai akhlak di abad ini. Said Nursi menginginkan
adanya pembaharuan di Turki pada bidang pendidikan dan moralitas umat, yang
waktu itu sudah mulai dirusak oleh Mustafa Kemal Attaruk (Wawancara Fatih, 2005).
Karena itu, Said Nursi tampil dengan model sufi modern yang memadukan antara
rasionalitas dan spritualitas, dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai
rangkaian proses pendidikan akhlak.
Said Nursi dalam berbagai
tekanan tersebut tidak kenal menyerah dengan tantangan dan penderitaan yang
dialaminya dari penjara ke penjara, berbagai musuh menghadang. Walaupun
otoritas negara yang kuat dan mekanisme pendidikan Islam yang ada di Turki saat itu dipengaruhi oleh sekulerisme
yang disosialisasikan oleh Mustafa Kemal Atatruk, tapi Said Nursi tetap melakukan usaha
menumbuhsuburkan ajaran Islam dan perbaikan dalam
bidang pendidikan Islam, terutama upaya membumikan nilai-nilai akhlak di Turki.
Media Said Nursi dalam
berdakwah adalah Risale-i Nur dan mengelola pengajianpengajian. Sebab bagi
Said Nursi meminjam istilah Syafii Anwar penyebaran Risale-i Nur merupakan “realisasi menyeluruh bagi para pemikir
dan praktisi pendidikan yang handal yang mampu membentuk manusia yang
unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan
kebijakan” (Syafii 1995, hlm. 153-154). Karenanya, Said Nursi berkeyakinan
bahwa penyebaran Risale-i Nur merupakan realisasi menyeluruh bagi umat manusia dalam rangka membentuk kepribadian manusia
yang seimbang rasionalitas, spritualitas dan kaya akan amal.
Sebagaimana yang dijelaskan
di atas bahwa periode kemunduran menyebabkan para pemikir untuk tampil
mencarikan pemecahannya secara mendalam. Namun pada akhirnya, diagnosa awal
dapat dikatakan bahwa penyakit umat terlalu
kompleks dan beragam. Pada kondisi ini tampillah Said Nursi yang menjawab seluruh permasalahan umat. Pendidikan merupakan
kunci utama untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat yang ada
saat ini, khususnya pendidikan akhlak yang merupakan inti dari proses pendidikan.
Dalam
kerangka pembinaan generasi muda Said Nursi
merealisasikan ide pendidikan akhlak melalui Dershane yang dilakukan oleh Nur
Jamaah3. Perkumpulan ini memuat beberapa garis besar kegiatan sebagai
berikut :
1. Mengkaji konsep interaksi kemodernan dan
relegius;
2. Berniat menegakkan kembali keruntuhan
kerajaan Usmani dengan kembali kepada tradisi keilmuwan
yang integralistik;
3. Mengadakan
kegiatan conversation (perbincangan), dan reading (membaca)
tulisan Risale-i Nur;
4. Menyebarluaskan
ajaran Risale-i Nur kepada masyarakat;
5. Mendirikan
asrama yang menjadi pusat pendidikan. (Hakan, ilmi com.).
Secara
garis besar kutipan di
atas, kegiatan ini memiliki relevansi terhadap pengembangan pendidikan akhlak
generasi muda yang menjadi
perhatian utama dalam penelitian ini. Harus diakui bahwa pendidikan akhlak sebagai salah satu inti dari proses
pendidikan dan bagi kemajuan suatu bangsa, maka pembaharuan di bidang pendidikan mutlak untuk
diadakan karena maju mundurnya suatu negara diukur dari
pendidikan dan out putnya.
1 Demi konsistensi dalam penulisan penelitian ini peneliti
selanjutnya menggunakan kata “Said Nursi” yang merujuk kepada Bediuzzaman Said
Nursi (1887-1960) sepanjang pembahasan penelitian ini, namun untuk tempat
khusus dalam judul besar atau pada sub judul maka masih akan digunakan kata
tersebut.
2 Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketinggalan kaum muslimin
dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai
bidang kehidupan ini, telah timbul mulai abad ke 11 H / 17 M dengan
kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja
dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan
mereka dan rahasia keunggulan lawan.
3 Istilah Nur Jamaah dalam bahasa
Turki sering digunakan dalam istilah yang berbeda seperti : “Nur Telebesi” atau
Nur Teleba”, Nurculuk atau Thalabun-Nur yang menunjukkan pengikut Said Nursi
yang berada di Turki, secara khusus, namun Nur Jamaah ini sudah menyebar hampir
ke beberapa negara. Jika istilah di atas diartikan dalam bahasa Indonesianya
“Murid Nur”. Penulis menggunakan istilah Nur Jamaah atas pertimbangan bahwa
istilah ini mudah dipahami dalam bahasa Indonesia . Sedangkan yang dimaksud
dengan istilah dershane atau "The Nurcu Movement",
"Halaqah" dalam bahasa Turki berasal dari kata “ders” yang
artinya belajar sedangkan “hane” dalam bahasa Turki menunjukkan “tempat”, maka
dershane dapat diartikan “tempat belajar” yang di kenal di Turki.
0 comments:
Post a Comment