“Teori
pendidikan akhlak” secara teoritis
pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam kehidupan. Tokoh yang menganggap
pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan
menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan
memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik dan bahaya berbuat salah” (Bakry
1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat menjadikan orang baik. Kemudian dapat berjuang di jalan Allah
demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti yang mulia dan terhindar
dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh
lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan
menggunakan kata adab atau ta'dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas
Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras
dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta'dib. Al-Attas menganggap bahwa proses pendidikan sebagai
penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses
yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79).
Selain
itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak
tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam.
Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya keadaan ini ada
dua jenis. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta
melalui kebiasaan dan latihan. Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan
klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa karakter dimiliki
oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat
karakter itu dimiliki oleh jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan
kedua jenis karakter dan kedua pendapat di atas Ibn Miskawaih menegaskan bahwa akhlak yang alamiah
dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta
nasehat-nasehat mulia. Karena menurutnya pendapat pertama menyebabkan tidak berlakunya fakultas
nalar, tertolaknya segala bentuk norma dan bimbingan,
kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak remaja dan
anak-anak berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat
negatif (Ibn Miskawaih 1997, him. 56-57). Berdasarkan inilah Ibn Miskawaih
menganggap perlu adanya pembinaan jiwa secara
intentif dengan daya-daya akal. Pembinaan inilah yang dapat dikatakan sebagai (tahzih
al-Akhlaq) pendidikan akhlak.
Menurut
Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab pemikiran di bidang pendidikan akhlak
maka secara umum pendidikan akhlak dapat
dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak kepada mistik
dan rasional bukannya tidak memiliki
konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa
konsekuensi bagi pertumbuhan kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik
kurung mendorong manusia untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).
Oleh sebab itulah, yang
dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan daya pikir (rasio) manusia, sedangkan
pendidikan akhlak mistik memberikan
porsi lebih kuat kepada pendidikan daya rasa pada diri manusia. Distingsi
ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan
akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis.
Adapun konsekuensi yang diperoleh dari
pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi
terciptanya manusia yang dinamis.
0 comments:
Post a Comment