Tuesday, April 7, 2015

LIKU-LIKU TAKTIK DAN STRATEGI POLITIK GUS DUR

Standard
LIKU-LIKU TAKTIK DAN STRATEGI POLITIK GUS DUR 
 
Oleh: Sulangkang Suwalu


 
        Upaya Gus Dur untuk berlangsungnya dialog segi empat (Habibie, Wiranto,
Soeharto dan Gus Dur) telah ditolak oleh Habibie. Mengapa Habibie menolak?
Habibie sendiri tidak menjelaskannya. Tetapi Achmad Tirtosudiro, pelaksana
Ketua Harian ICMI mengatakan "tawaran itu manis, tapi mematikan Habibie".
       
 Menurut Achmad Tirtosudiro langkah Gus Dur yang menemui dan ingin mengajak
bekas Presiden Soeharto ikut dalam dialog nasional, merupakan manuver
politik yang paling aneh, paling gila dan paling beresiko. Mengapa? Karena
manuver itu telah menempatkan Habibie pada posisi yang sangat sulit, posisi
killing ground.
        
Artinya kalau Habibie tidak menerima akan banyak yang menghantam; kok
diajak dialog nasional tidak mau. Tapi, kalau setuju, citranya akan semakin
terpuruk, dianggap tidak bisa melepaskan diri dari Soeharto. Habibie akan
berada di lapangan pembantaian.
       
 Menurut dia, tawaran dialog Gus Dur itu manis, tetapi mematikan Habibie.
Ibarat memakan simalakama. Dimakan mati, tidak dimakan apalagi. Untungnya,
dengan memakai intuisi politik yang jitu, tawaran manis namun mematikan itu
cepat-cepat ditolak Habibie, hingga tidak menimbulkan polemik
berkepanjangan. Untungnya juga Habibie itu mempunyai pendirian dan tidak
terjebak dalam suasana dilematis menghadapi tawaran ini.
       
 Benar kah usul dialog segi empat dari Gus Dur itu merupakan sebuah jebakan
bagi Habibie? Sesungguhnya apa yang menjadi strategi Gus Dur menghadapi
kekuasaan Habibie?
 
GUS DUR BERPIHAK PADA HEMBUSAN ANGIN
                
        Sebelum menjawab apakah strategi Gus Dur, seorang pembaca harian Merdeka
(24/12), Irfan Suryahadi, mengemukakan bahwa taktik Gus Dur senantiasa
berpihak kepada hembusan angin. Jelasnya:

        "Bagi saya, kata Irfan, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bukanlah seorang
moralis atau humanis, tetapi lebih tepat dikategorikan sebagai politikus.
Beberapa catatan terhadap sepak terjang Gus Dur menunjukkan hal itu".

        "Pada 1984 ketika pecah tragedi berdarah Tanjung Priok, komentar Gus Dur
tidak menyentuh kepentingan ratusan korban (yang tewas dan luka-luka),
tetapi lebih condong kepada pembelaan terhadap ABRI (Benny Murdani dan Tri
Sutrisno) serta pemerintah (Soeharto)".

        "Bahkan dengan sigap Gus Dur mendampingi Benny Murdani (yang ketika itu
menjabat Panglima ABRI) berkeliling ke berbagai pesantren, menemui para
ulama untuk meyakinkan kepada kalangan ulama bahwa tragedi Tanjung Priok
merupakan sebab dan akibat yang bisa "dimengerti" dan sama sekali bukan
tragedi pembantaian".

        "Begitu juga dengan peristiwa Banyuwangi (dan sekitarnya). Ketika pertama
kali Gus Dur berkomentar, peristiwa itu sudah agak lama berlangsung dan
titik perhatian Gus Dur juga tidak tertuju kepada korban dan keluarganya,
tetapi kepada ABRI yang ditudingnya berada dibalik semua kejadian itu.
Bahkan dengan enteng Gus Dur menuding dalang peristiwa Banyuwangi duduk di
Kabinet. Barulah setelah itu NU membentuk tim pencari fakta".

        "Masih banyak catatan yang menunjukkan bahwa Gus Dur memang politikus,
bukan moralis atau humanis. Sebab, seorang moralis, humanis lebih cenderung
menolong korban (dan keluarganya), tanpa memandang latar belakang politik
dan muatan ideologis yang menyertai sebuah tragedi. Kenyataannya Gus Dur
selama ini tidak cenderung berpihak kepada korban (dan keluarganya) tetapi
lebih berpihak kepada hembusan angin". Demikian Irsan.

        Ya, itulah politisi Gus Dur. Taktiknya bisa berobah setiap waktu.
Tergantung situasi yang dihadapinya. Taktik-taktiknya tentu dengan tujuan
mengabdi pada strategi politiknya. Bagaimana strategi Gus Dur?
 
STRATEGINYA GUS DUR MENJELANG PEMILU 1997
 
        "Kita masih ingat," kata Ratna Susilowati, "menjelang Pemilu 1997 Gus Dur
tiba-tiba menjalin hubungan akrab dengan Ketua Golkar, yang juga putri
tertua Soeharto, Mbak Tutut. Padahal dalam waktu bersamaan, dia juga serius
ikut memperjuangkan demokrasi bersama PDI Megawati Sukarnoputri."

        Ketika itu --sama seperti sekarang-- polemik berkepanjangan seakan tak
henti-hentinya bermunculan. Gus Dur waktu itu dinilai banyak kalangan
sebagai orang yang tidak punya sikap, tidak konsisten atau plintat-plintut.

        Lalu, apakah alasan Gus Dur sebenarnya? Ternyata baru terungkap beberapa
waktu kemudian, yaitu setelah pemilu berakhir dan orang-orang tidak lagi
mengungkit-ungkit soal itu. Katanya, ketika Megawati dijegal dari pencalonan
Presiden dan partainya berniat memboikot pemilu, Gus Dur berpikir akan
kemana larinya 50 kursi PDI. Dalam analisa uus Dur, massa yang dulunya
mencoblos PDI, kalau tidak diarahkan tentu bakal mencoblos PPP karena
dianggap seperjuangan dengan PDI.

        Kata Gus Dur lagi, kalau 50 kursi ini semua lari ke PPP, dirinya
mengkawatirkan ada upaya-upaya pihak tertentu di PPP yang mengarah
kepembentukan negara Islam (sesuatu yang sangat ditentang Gus Dur) dan
menyalahi ideologi negara persatuan. Maka 50 kursi ituh harus dibagi dengan
Golkar. Bagaimana caranya? Ya, dengan memboyong Ketua Golkar ke
kantong-kantong NU. Kenapa harus Mbak Tutut? Dengan lugas Gus Dur mengatakan
kalau mengundang Ketua Umum Golkar (yang saat itu dijabat Harmoko), Golkar
tidak akan populer.

        Dan gara-gara kedekatannya dengan Mbak Tutut, ke 50 kursi terbagi 24 untuk
Golkar, 22 untuk PPP dan 4 untuk PDI. "Jadi usaha saya untuk menghalani
pendirian negara Islam berhasil, ujarnya, walau pun kita bisa juga
mempertanyakan "tesis" Gus Dur itu (Merdeka, 24/12). Demikian Ratna.

        Sesungguhnya "tesis" Gus Dur itu mencerminkan ketakutannya yang berlebihan
PPP akan mendirikan negara Islam, sekira ke 50 kursi itu seluruhnya jatuh
pada PPP. Suatu hal yang tidak mungkin. Sikap PPP senantiasa menyejukkan
pemerintahan Soeharto. Baik jatuh kepada PPP seluruhnya, apalagi terbagi
kepada Golkar sebagian, negara Islam tidak akan berdiri. Karena pemerintahan
Soeharto tidak berkepentingan dengan negara Islam, malah umat Islam
dibantainya di Aceh, di Tanjung Priok, di Lampung dan sebagainya.

        Sebagai suatu strategi Gus Dur menghalangi berdirinya negara Islam di
Indonesia, itu sah sah saja. Strateginya itu akan berhasil, kalau diikuti
dengan taktik-taktiknya yang tepat, yang mengabdi kepada strategi tersebut.
 
STRATEGI GUS DUR HALANGI FORMALISASI AJARAN ISLAM
 
        Untuk mengetahui bagaimana strategi Gus Dur untuk menghalangi jangan sampai
diformalisasi Islam dalam peraturan perundang-undangan, baik sekali bila
kita menyimak tulisnn Gus Dur yang berjudul: "Pencarian strategi hal yang
lumrah". Tulisan tersebut dimuat dalam Jawa Pos (12/11). Gus Dur di
antaranya menyatakan:

        "Di hampir semua negara Islam, kecuali di negeri kita, orang harus memilih
diantara dua hal: mengodifikasikan syariah sebagai hukum nasional atau
membuangnya sama sekali. Contoh yang membuangnya adalah Turki dan Aljazair,
sedang yang menerima kodifikasi ialah Iran dan Saudi Arabia".

        "Meniru pola Turki dan Aljazair yang menolak hukum Islam adalah kerja yang
sia-sia belaka, karena rakyat kedua negeri itu dalam jangka panjang akan
lari pada hukum Islam. Tapi menerima kodifikasi hukum Islam justru akan
mematahkan proses demokratisasi yang berintikan persamaan derajat dan
kedudukan di depan hukum, serta kebebasan menyatakan pendapat. Karenanya
yang terbaik adalah memperjuangkan demokratisasi dengan menampilkan
pandangan hukum Islam tentang hak-hak warganegara, perbedaan antar manusia
dan keharusan pemerintah bertanggungjawab pada rakyat. Dengan cara demikian
Islam keluar dalam fungsi yang diharapkan, bukan dalam bentuk formalitas
(pendirian pusat negara)".

        "Mengambil pola seperti Iran dan Saudi Arabia pada saat ini, adalah
tindakan yang tak bertanggungjawab. Bukankah dengan demikian kita justru
memperkuat rezim militer yang menggunakannya sebagai senjata politik?
Bukankah kita ingin melaksanakan hukum modern yang bersandarkan
ajaran-ajaran Islam, dan bukan membuat Islam seperti abad ke VII Masehi
berlaku di negeri kita".

        "Proses menghidupkan Islam dalam kehidupan modern bukanlah sesuatu yang
mudah. Karena itu tidak perlu dilakukan melalui formalisasi (peresmian)
secepat-cepatnya, tetapi juga harus memperhatikan proses sosial yang
berlangsung menuju demokratisasi. Ini berarti Islam harus menopang proses
itu dengan melakukan penggalian ajaran-ajarannya sendiri seperti yang
dilakukan umat lain".

        "Dengan kata lain Islam harus menggali sedalam-dalamnya komponen hak azasi
manusia (HAM) dan musyawarah dalam dirinya. Hanya dengan cara inilah Islam
punya relevansi dengan perkembangan sosial dewasa ini".

        Demikian Gus Dur dalam pencarian strategi yang lumrah.

        Dalam rangka strategi Gus Dur menghalangi formalisasi ajaran Islam dalam
peraturan perundang-undangan ini, adalah menarik ulasan Husaini atas buku
"Musykilat dalam NU", yang dimuat Media Dakwah (Jumadil Akhir 1419/Oktober
1998). Husaini dalam ulasannya itu mengemukakan bahwa dalam sebuah seminar
tentang "Islam dan Politik di Indonesia" di Cornell University, 12 April
1992, Gus Dur mengatakan: bahwa NU akan selalu menghindari formalisasi
ajaran Islam di dalam peraturan perundang-undangan negara. 

Setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan negara
akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain. Contohnya adalah gagasan
tentang UU Zakat yang memungkinkan warga negara Islam memperoleh potongan
pajak atas sejumlah zakat yang telah dibayarkan.

        Kalau orang Islam boleh mendapat potongan, bagaimana dengan penganut agama
lain? kata Gus Dur sambil menambahkan: dalam suatu negara harus hanya ada
satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik.

        Gus Dur menentang diskriminasi ini, itu pegangannya karena Islam itu adalah
untuk alam semesta, bukan hanya untuk orang Islam saja. Itulah yang
difirmankan Tuhan dalam surat Al Anbiya ayat 107: "Kami tiada mengutus
engkau (ya Muhammad), melainkan menjadi rahmat untuk semesta alam".


 
STRATEGI GUS DUR MENGHADAPI PEMILU 1999
 
        Untuk menghadapi Pemilu 1999 ini, Gus Dur, melalui Said Aqil Sirad, Wakil
Ketua Khatib Syuriah PBNU mengemukakan bahwa NU jelas tidak akan menggunakan
agama sebagai alat politik. Sebab, NU sudah belajar dari sejarah, kalau
meletakkan agama untuk kepentingan politik, akan terjadi over konstitusi,
artinya dengan gampangnya yang lain akan dibabat (Kompas, 23/11).

        Karena tujuan politik untuk mempertahankan status quo pemerintah sekarang,
sambung Said Aqil, sehingga Islam dijadikan partner, bumper, dijadikan
simbol. Dijadikan lipstik, bahasa kasarnya.

        Agama bukan untuk alat politik, melainkan untuk diamalkan. Menghadapi
Pemilu 1999, maka resiko agama yang dipolitisir itu sangat berbahaya dan
sangat mengerikan. Kalau agama dipolitikkan, maka agama justru akan menjadi
kekuatan yang lebih keras dan lebih sadis.

        Pemerintah sekarang ini mau menggunakan agama untuk mempertahankan status
quo dan setiap kali menggunakan simbol-simbol Islam hingga memabukkan.
Berbeda dengan di Timur Tengah yang tidak memiliki kelompok yang mampu
menetralisir pertentangan, di Indonesia


0 comments:

Post a Comment