NIK-NDP
Basic Contruction
Dalam
konteks tersebut NIK “NDP” berfungsi sebagai basic construction yang akan merubah sistem berfikir anggota HMI,
dari pemikiran yang bersifat etnisentrimse - ideologi-sentrisme - rasialisme -
patronalisme, agamisme, menuju kerangka pemikiran baru yang betul-betul
terbebaskan dan merdeka dari sekat-sekat tersebut, sehingga kader HMI menjadi
independen dan berpandangan universal. Upaya mewujudkan kualitas kader HMI yang
berpandangan universal, karena menyadari asas-asas kemanusiaan, bahwa manusia
berasal dari zat kosmos yang sama dan bersumebr pada zat illahi yang
transendet. Dengan begitu kader HMI tidak menjadikan faktor-faktor perbedaan
pada manusia sebagai alasan untuk tidak saling berinteraksi atau berkomunikasi
pada kepentingan yang bersifat kemanusiaan semata. Melainkan kader HMI
memandang faktor perbedaan sebagai agenda pluralisme yang menjadi potensi
pembangunan kebudayaan dan peradaban untuk umat manusia. Kerangka pemikiran
yang demikian ini menganalogikan bahwa seorang anak umat berhidmat dilingkungan
HMI maka ia telah mewakafkan dirinya menjadi anak soliter, modern dan universal.
Indikator
kemoderenan terlihat, manakala seorang kader HMI memiliki kemerdekaan berfikir
dan berprilaku tanpa mengenal batas budaya, agama etnis maupun ideologi.
Kemerdekaan cara pandang seorang kader HMI, akan melahirkan kualitas kader yang
independencia. Sifat independencia pada kader, menjadikan kader HMI akan
bersikap kritis, kreatif, inovatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran
yang transformatif. Dalam konteks ini proses kaderisasi HMI menjadikan setiap
anak manusia produk HMI berpandangan dan bersikap universal. Kesaradan terhadap
budaya universalisme merupakan kesadaran yang paling asasi dalam humanism.
Melalui tahap ini kader HMI dapat mendisain “ide” kemudian menjadi kerangka
pemikiran “teoritis” dari teori menjadi kerangka aksi atau prilaku. Jika setiap
pemikiran dilakukan secara kontinue dan diikuti secara gradual maupun holistis,
maka akan akan menjadi budaya, kemudian menjadi adat istiadat atau pranta
masyarakat.
Gambaran
NIK- NDP.
Untuk
itu sangat penting bagi kader HMI membedah muatan NIK agar dapat menemukan
esensi yang menjadi semangat atau spirit yang terkandung didalamnya. Paling
tidak terdapat tiga ide besar yang menjadi freem
of thingk, Pertama, ide tentang
eksistensi Tuhan sebagai penggagas awal sejarah kehidupan berbagai makhluk
(kausa prima), Kedua, ide tentang
eksistensi manusia sebagai pelaku sejarah, Ketiga,
idea tentang tugas kesejarahan manusia dalam mewujudkan peradaban manusia yang
berkeadilan sosial maupun berkeadilan ekonomi melalui prinsip ilmu pengetahuan.
Ketiga
agenda utama tersebut, merupakan rangkuman dari keseluruhan muatan NIK yang
terdiri dari VII bab tersebut. Sesungguhnya formulasi kandungan NIK, adalah
tidak lebih dari modifikasi ayat-ayat Tuhan yang disusun secara tematik,
sebagaimana sistematika NIK. Olehnya secara organik kandungan NIK tidak lain
dari pada susunan ayat-ayat Tuhan, kemudian diuraikan menurut dataran
problematika yang dihadapi oleh masyarakat muslim Indonesia. Karena itu baik
secara historis maupun sosiologis kehadiran formulasi NIK adalah diarahkan
untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dihadapi, maupun dalam kerangka
menciptakan kerangka kebudayaan dan peradaban baru sebagaimana kecenderungan
yang dunia atau masyarakat yang terjadi.
Pada
tataran theologis ketiga pemikiran besar tersebut merupakan sintesa terhadap
konflik pemikiran yang terjadi pada abad pertama kelahiran Islam. Karena
konflik atau ketegangan kreatif antara aliran kalam jabarian dan aliran kalam
qodariyan, kemudian mu'tazilah dan asyarriyah, si’ah dan ahlussunnah waljamah,
yang pada puncaknya menjadi ketegangan politik antara daulah Abbasiah dan
Muawiyah. Ketegangan-ketegangan tersebut, mrupakan proses yang tidak disadari
sehingga memperlemah otoritas integritas umat dan otoritas intelektual umat
dalam menggagagas atau melakukan prakarsa tentang berbagai gagasan yang
berkaitan dengan transformasi maupun rekayasa peradaban. Untuk itu kehadiran
NIK bagi kader HMI dapat berfungsi sebagai metode kritis kearah terciptanya
sintesa baru yang yang bersifat postivistis.
Pilihan
terhadap format kebudayaan dan peradaban positivistis, mengingat kecenderungan
tatanan dunia dewasa ini sangat kuat didominasi oleh kultur ilmu pengatahuan
dan teknologis. Kultur ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian ini,
merupakan proses yang menghantarkan manusia menjadi mahlukyang berbudaya
soliter, berbudaya humanis, dimana seluruh umat manusia akan saling berdialog
dan berinteraksi secara transparan, tanpa mengenal sekat-sekat yang membatasi.
Proses humanisasi manusia yang menjadi produk positivisme ini, pada gilirannya
akan mengarah pada terbentuknya kebudayaan manusia yang universal.
Sebagaaimana
deskripsi problematika umat tujuh abad belakangan ini, memperlihatkan sejarah
buram umat, dimana umat Islam telah kehilangan supremasi, atau lagi menjadi
kekuatan yang disegani baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan
teknologis. Meskipun menurut tesis
Huntington, bahwa setelah keruntuhan komunis Uni Soviet, masyarakat Barat
akan menghadapi kebangkitan dunia Islam sebagai tantangan baru. Tesis ini
memang bernada optimisme terutama bagi kalangan Islam, namun secara empiris
sangat sulit dipertanggungjawabkan. Karena kita akui bahwa dunia Islam dewasa
ini terjebak dalam konflik internal yang berkepanjangan, lihat: Afganistan,
Pakistan, Aljazair, Irak, Libya, Palestina dan Turki, teramasuk Indonesia
negara-negara tersebut dalam sejarah dikenal sebagai poros kebangkitan dunia
Islam.
Pilihan
Metodelogi
Dr. Kuntowidjoyo, membagi
tiga tahapan perkembangan pemikiran manusia dalam penafsiran terhadap Al-Qur,an
sebagai sistem berfikir untuk pembentukan kebudayaan. Pertama, Al-Qur,an
sebagai ide mistik, Al-Qur,an sebagai argumen ideologis politis, alquran
sebagai kekuatan ide transformatif. Agust
Comte, membagi tiga tahapan perkembangan sejarah masyarakat, Pertama, tahap sejarah masyarakat
mistitisme, Kedua, tahap sejarah
masyarakat teologisme, Ketiga, tahap
sejarah masyarakat positivisme.
Mengkaitkan
taksonomi sejarah pemikiran masyarakat antara Agust Comte dan Kuntowidjoyo terdapat kesamaan pada tahap terakhir
yaitu ide dan Positivisme. Essensi Positivisme Aguste Comte adalah gagasan yang
mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumpu pada semangat
rasionalisme dan empirisme. Seperti perkembangan teknologi informasi, teknologi
komunikasi, teknologi transportasi yang dicapai saat ini. Kecanggihan teknologi
tersebut merupakan sebuah proses kearah terjadinya revolusi sosial, yaitu
meretakan dinding-dinding diskriminatif yang membedakan relasi antara manusia
atas nama agama, idelogi, etnis, rasialis. Kehadiran peradaban postivisme
mewujudkan realasi kesetraan antar manusia, semua bentuk perbedaan atas nama
apapun mengalami fase akhir.
Positivisme
Comte ini merupakan penolakan terhadap ide tentang prima kausal, eskatologis
atau hal yang bersifat metafisika. Karena bagi Comte yang menganut falsafah materialisme sangat meyakini
bahwa materi adalah persoalan pertama dan mengalami fase kekekalan atau
keabadian. Nampaknya secara emprik gagasan atau falsafah materialisme telah
mempenagruhi kerangka keilmuan modern sampai kepada perkembangan teknologi
mutaakhir dewasa ini. Sedangkan Ide sebagai kekuatan transformasi yang
dikembangkan Kunto, saat ini memiliki kebenaran dalam konteks ruang maupun
waktu. Ide yang dimaksudkan Kuntowidjoyo, bukanlah idealisme dalam pemikiran
filsafat yang berakar pada Plato (!), melainkan ide sebagai gagasan yang akan
menentukan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan konteks era informasi
dewasa ini. Setiap manusia yang beride,
ia akan mempunyai peluang, jika ia tidak mempunyai ide maka akan terjadi
sebaliknya atau kemanusiaan tanpa makna.
Dewasa
ini eskalasi teknologi komunikasi tidak hanya meretaskan hegemoni kemanusiaan
oleh sesama manusia, namun lebih dari itu teknologi telekomunikasi telah
meruntuhkan dinding-dinding kosmologi yang telah lamamenjadi penjara komunikasi
peradaban antara manusia. Era transparansi ini secara sinonim dapat diidentikan
dengan era era kosmologi bugil karena tidak ada lagi yang mampu menghambati
komunikasi antar manusia. dunia yang tembus pandang ini seakan-akan
memperlihatkan abad ini menjadikan manusia sebagai komunitas global yang hidup
dalam perkemapungan besar.(global village).
Dalam
perspektif inilah Kuntowidjoyo mengajukan sebuah pendekatan ide terhadap
al-qura'an. Bahwa qur'an tidak lagi didekati untuk membangun pemikiran mistis yang tidak dapat
difahami oleh logika rasional manusia. Sesuatu yang paradoksal bila kehadiran
Qur'an hanya berfungsi sebagai jimat yang kering dari makna sosial bahkan a
rasional. Dan pengkajian Qur'an-pun juga tidak lagi untuk konsumsi ideologis politis dan kontemporer, misalnya sekelompok orang
(!) ingin menyusun dasar kenegraan berdasarkan Qur'an sehingga negara tersebut
menjadi negara Islam karena landasan konstitusionalnya.
Urgensi
pemikiran Kunto dalam konteks ini, adalah meletakan manusia sebagai faktor yang
menggagas perubahan, manusia sebagai pelaku sejarah, manusia yang menentukan
kualitas peradaban. Untuk itu tugas terbesar bagi manusia adalah menjadikan
kalam Tuhan sebagai ide transformasi peradaban. Kader HMI dapat memainkan
sebagai interpretator terhadap realitas sosial maupun kosmologis kemudian
mendialogkan dengan kalam Tuhan. Akibat proses dealektika fungsional ini tentu
membuahkan berbagai gagasan yang fundamental. Dari ide akan berkembang menjadi
formulasi teoritis sebagai paradigma peradaban. Dari sini kader HMI telah
menjembatani kemiskinan kebudayaan dalam Islam maupun krisis moral dalam setiap
produk peradaban pada masyarakat barat. Dari perspektif ini kader HMI tidak
lagi mempersoalkan antara ilmu umum yang sekuler maupun ilmu agama sakral.
Kedua duanya telah kehilangan relevansi untuk didiskursuskan.
Secara
historis kedua wilaya keilmuan tersebut telah melewati pendekatan metodelogis
yang tidak utuh yang merupakan warisan dari tradisi filsafat yunani yang telah
kehilangan kekuatan budayanya. Yunani masa lampau terbelah dalam dua kutub yang
dikotomis, antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Keduanya menjadi
akar yang memilari bangunan ilmu yang dualistis hingga hari ini. Krisis inilah
yang akan dijawab oleh kerangka pemikiran kader HMI.
Oleh
karena itu bagi Kunto, dimensi ke-islaman suatu bangsa (Indonesia) adalah bukan
bersifat simbolism dan verbalism atau bersifat institusional dan
konstitusionaal, melainkan lebih cenderung pada essensi atau nilai. Untuk itu
kemestian bagi muslim untuk memberikan penafsiran baru terhadap gagasan Tuhan
(Qur'an) menjadi ide-ide kebudayaan. Kemudian diolah menjadi dasar-dasar
teoritis. Kemudian perjalanan teori mengalami pengujian pada dimensi ruang dan
waktu tertentu, akibat proses teoritisasi dan perbenturan antra teori dan
realitas empiris, maka lahirlah temuan baru yang lebih aktual sebagai tesa
baru.
Bagi
kader HMI, sebagaimana diktum historisnya, maka diperlukan sikap reflektif yang
secara terus menerus mengkaji kalam Tuhan. Proses aktualisasi ini akan
melahirkan ide-ide kebudayaan yang dapat menjadi kekuatan transformasi
peradaban. Dalam konteks NIK, Kader HMI patut mengidentifikasikan dirinya
sebagai manusia pilihan yang menjadi pelaku sejarah, kekuatan ide dalam
transformasi peradaban. Transformasi peradaban bangsa diarahkan pada
tercapainya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadilan sosial maupun
berkeadilan ekonomi yang didasari oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara
metodelogis ide perubahan itu merupakan proses eksplorasi manusia (kader
cendekia) melalui dealektika transendental antara kalam kauiniyah dan kalam
kauliyah. Proses dealiktika transendental ini kemudian membuahkan ide-ide
teoritis yang selanjutnya dapat diderivasi menjadi pemikiran dan implementasi
pembangunan. Dalam perspektif ini akan lahir moralitas dunia baru, moralitas
yang berakar pada nilai-nilai obsolut transendental dan nilai-nilai relativisme
kemanusiaan maupun nilai-nilai universal yang lain.
Elaborasi
nilia-nilai tersebut menjadi kekayaan yang sangat penting untuk pembentukan
kerakter integratif kader HMI. Kader HMI memiliki sudut pandang yang integral
dan menjadi pisau analisis yang tajam dalam membedah realitas empirik
kebangsaan. Untuk itu dalam perspektif kebangsaan kader HMI menjadi platform peradaban yang mereduksi dan
mendekonstruksi kesenjangan dan ketegangan kultur maupun ideologis serta
rasialis yang selama ini telah menjadi penjara bagi manusia. Selanjutnya kader
HMI berperan sebagai kader peradaban yang menggagas atau mengartikulasi ide-ide
civil Society melalui proses pendekatan “internalisasi, eksternalisasi dan
objektivasi” Agenda besar ini pantas menjadi cita-cita universal kader HMI
dalam master plan perkaderan untuk nation development.
0 comments:
Post a Comment