Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Pembicaraan tentang pendidikan akhlak
harus diakui banyak sekali persoalan yang akan muncul ketika masalah ini diangkat dan dikaji. Karena memang banyak hal yang dapat mempengaruhi proses pendidikan akhlak.
Diantaranya adalah menyangkut jumlah dan nama sumber karya tulis mengenai
pendidikan akhlak. Prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi akan sangat
berbeda jika ditinjau dari sudut pandang situasi sosial pada saat Risale-i Nur ditulis.
Juga akan sangat berbeda kalau konsep itu berdasarkan kontekstualisasi
pemahaman nilai-nilai keimanan atau
ketauhidan yang menjadi filosofi dalam membentuk karekteristik insan
manusia secara intergratif, universal dan kekinian.
Kemudian
perbedaan juga akan muncul bila pendidikan akhlak ditinjau dari segi
pelaksanaannya, seperti efektifitas pendidikan akhlak yang dilakukan dengan
pendekatan monolitik (diajarkan sebagai suatu bidang studi tersendiri) dengan
pendekatan integratif (terintegrasi dengan
bidang studi) pada lembaga pendidikan. Jika pendekatan integratif, maka masih ada pertanyaan yakni bidang studi manakah yang sesuai dengan pengintegrasian?. Di samping itu,
yang dapat berpengaruh pada konsep pendidikan akhlak adalah cara mengevaluasi
pendidikan akhlak, dari kurikulumnya, alat dan atau media yang digunakan. Faktor lain seperti lingkungan, jenis kelamin,
tingkat kecerdasan anak didik, teologi pendidik,
dan sebagainya, dapat pula berpengaruh terhadap hasil penelusuran konsep seseorang
mengenai pendidikan akhlak.
Beberapa
identifikasi di atas merupakan berbagai persoalan
yang akan muncul dalam dinamika pemikiran mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak.
Dalam penelitian ini selain tujuan teknis yang
diarahkan menjawab persoalan pokok maka dirumuskan tujuan pendidikan akhlak
menurut pandangan Said Nursi yang dapat dipahami dari Risale-i Nur bahwa tujuan
pendidikan akhlak diarahkan terciptanya
manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi.
Maka dapat dipahami bahwa pendekatan pendidikan akhlak
bukan monolitik yang harus menjadi mata pelajaran atau lembaga, melainkan
terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran
atau lembaga. Akhlak dalam dasar-dasar pendidikan selalu berawal dari upaya
prinsip menguatkan iman dan mengkokohkan akidah secara integratif yang pembahasannya akan mempengaruhi terbentuknya
doktin-doktrin akhlak secara aplikatif.
Selain itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu
keadaan jiwa. Keadaan ini
menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam.
Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya keadaan ini ada
dua jenis. Pertama, alamiah dan
bertolak dari watak. Kedua, tercipta
melalui kebiasaan dan latihan. Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan
klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa karakter dimiliki
oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat
karakter itu dimiliki oleh jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan kedua jenis karakter dan kedua pendapat di
atas Ibn Miskawaih menegaskan
bahwa akhlak yang alamiah dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau
lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat mulia. Karena menurutnya pendapat
pertama menyebabkan tidak berlakunya
fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk norma dan
bimbingan, kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak
remaja dan anak-anak berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu
saja sangat negatif (Ibn Miskawaih 1997, hlm. 56-57). Berdasarkan inilah Ibn
Miskawaih menganggap perlu adanya pembinaan jiwa
secara intentif dengan daya-daya akal. Pembinaan inilah yang dapat dikatakan
sebagai (tahzih al-Akhlaq) pendidikan
akhlak.
Menurut Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah
bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab
pemikiran di bidang pendidikan akhlak maka secara umum pendidikan akhlak dapat dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan
pendidikan akhlak rasional. Pembedaan
pendidikan akhlak kepada mistik dan rasional bukannya tidak memiliki konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi
rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi pertumbuhan
kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik kurung mendorong manusia
untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).
Oleh
sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan daya pikir (rasio)
manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik
memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya rasa pada diri manusia. Distingsi
ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan
akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis.
Adapun konsekuensi yang diperoleh dari
pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi
terciptanya manusia yang dinamis.
Namun, pendidikan akhlak tidak masuk dalam kategori
institusi sebagaimana di atas, karena hakekat pendidikan akhlak adalah inti
semua jenis pendidikan. Jadi pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan akhlak yang dimaksud pada penelitian ini yaitu ; mengarah pada terciptanya perilaku lahir dan
batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya
maupun terhadap luar dirinya.
Dengan
demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus
menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau
lembaga melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau
lembaga.
0 comments:
Post a Comment