4.2. Pembahasan
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan
Kota Medan terdapat 200 unit Sekolah Menengah Atas
(SMA) di kota Medan. Objek
penelitian ini adalah beberapa SMA di Kota Medan yang memiliki akreditasi yang
berbeda fokus penelitian ditujukan pada
keprofesionalan guru fisika. Pemilihan beberapa sekolah berdasarkan akreditasi
berlandaskan pada teknik pengambilan data yaitu sampling purposive. Sampling Purposive adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu.(sugiyono.2010)
Penelitian ini menggunakan metode atau pendekatan
kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti adalah ujung tombak sebagai pengumpul
data (instrumen). Peneliti terjun secara langsung ke lapangan untuk
mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan dan menyesuaikan diri dengan
aspek keadaan yang dapat mengumpulkan data yang beragam sekaligus dan peneliti juga turut berpartisipasi menjadi
guru di sekolah untuk mendapatkan pengalaman empiris dengan harapan peneliti
juga merasakan masalah lapangan yang akan diteliti.
Menurut Miles dan Huberman (1984),
mengemukakan bahawa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu reduksi data, penyajian data
dan kesimpulan.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi yang berfungsi mengamati guru
fisika sebagai subjek (partner) penelitian, kuesioner yang terdiri dari dua puluh butir
pertanyaan, berfungsi untuk mengumpulkan data tentang pendapat dan pemahaman
guru tentang standar penilaian, dan wawancara.
Penelitian ini dimulai pada bulan Juni
2012. Sesuai dengan prosedur penelitian terlebih dahulu peneliti mengurus surat
penelitian yang dibutuhkan sebagai syarat administatif untuk melakukan
penelitian ke sekolah yang akan diteliti. Pengurusan surat dimulai dari Kantor
Dekan FMIPA untuk memperoleh surat dengan tembusan ke Dinas Pendidikan Kota
Medan. Setelah itu peneliti mendapatkan sumber informasi untuk data penelitian
di Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan. Setelah sumber data diperoleh maka
peneliti merancang untuk memilih sekolah untuk dijadikan objek penelitian. Selanjutnya, peneliti menyebarkan surat ke sekolah yang menjadi objek
penelitian. Setelah surat penelitian direspon dan disetujui oleh pihak sekolah,
kemudian peneliti menyampaikan tujuan
penelitian dan melakukan observasi dengan masuk ke kelas bersama guru yang
mengajar di sekolah tersebut. Peneliti melakukan pengamatan dengan memahami
peraturan-peraturan yang ada seperti dalam Permendiknas dan Undang-undang.
Pada Standar Penilaian Pendidikan (Permendiknas
Nomor 20 Tahun 2007) dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan,
dan pemerintah. Dengan digulirkannya Standar Penilaian Pendidikan tersebut,
maka pengelolaan penilaian hasil belajar oleh tiap guru hendaknya memenuhi
standar. Oleh karena itu, para guru perlu memahami kewajiban dan tugasnya dalam
mengelola penilaian hasil belajar yang terstandar.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Standar Kompetensi Guru juga menguraikan bahwa
standar kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
dan profesional. Kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru mata pelajaran
di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMA/MAK berkaitan dengan pengelolaan penilaian
hasil belajar yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil
belajar sekaligus memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 14
tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru profesional harus
memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV),
menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah,maka guru sebagai tenaga
pendidik harus mampu melaksanakan penilaian dengan benar dan terstandar.
Terutama bagi guru-guru fisika profesional harus mampu melaksanakan penilaian
terstandar. Dengan melaksanakan penilaian terstandar, guru mengetahui tingkat pencapaian kompetensi yang
diperoleh peseta didik serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan
kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh sebab itu, sangat penting bagi guru
untuk memahami serta dapat melakukan praktik penilaian/asesmen yang sesuai
dengan tuntutan KTSP.
Penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kelas,
yaitu penilaian yang dilakukan secara
terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. Penilaian
berbasis kelas sering kali juga disebut asesmen
berbasis kompetensi maupun asesmen otentik. Sistem
penilaian terstandar telah tercantum dan dijelaskan secara rinci pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 pada tanggal 11 Juni 2007
Tentang Standar Penilaian Pendidikan dan disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).
Dari data di lapangan, terutama guru fisika, baik
itu guru fisika yang belum memiliki sertifikat pendidik maupun guru fisika
profesional ternyata juga belum maksimal dalam mengimplementasikan penilaian.
Di sisi lain, masih banyak guru fisika yang belum mengetahui isi dari
Permendiknas No. 20 tahun 2007 ini. Mekanisme dan teknik penilaian yang dilakukan oleh guru belum mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan, masih cenderung
menggunakan penilaian tradisional. Bahkan guru jarang menggunakan lebih dari
dua teknik penilaian. Guru hanya menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta
didik melalui tes tertulis dan penugasan. Penilaian seperti ini tentu hanya
mencakup aspek kognitif peserta didik saja. Guru hanya melihat hasil penilaian
itu hanya dari hasil-hasil ujian
dan tidak ditemukan guru yang menggunakan draf penilaian untuk psikomotorik dan
afektif. Padahal penilain yang benar adalah
penilaian yang bersifat holistik: harus mencakup semua aspek dari tujuan
pembelajaran baik aspek kognitif, afektif maupun sensori-motorik.
Penilaian
yang dilakukan oleh guru fisika di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
ada di Medan masih kurang sesuai dengan tuntutan KTSP. KTSP menuntut bahwa
penilaian yang harus dilakukan oleh pendidik adalah penilaian otentik
berkelanjutan. Artinya penilaian itu harus berdasar pada hasil belajar peserta
didik yang berbasis kompetensi, individual, berpusat pada peserta didik, tak
terstruktur dan open-ended, otentik,
terintegrasi dengan proses pembelajaran, dan on-going atau berkelanjutan. Tapi
pada kenyataannya, hasil penilaian hasil belajar peserta didik hanya dilihat
dari angka-angka hasil ujian. Guru menilai hasil belajar peserta didik dengan
membuat ujian dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda
ataupun essay pada waktu yang telah ditentukan guru sebelumnya.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik
dilakukan seharusnya menurut BSNP adalah
secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar
peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.
Kegiatan yang dinilai meliputi persiapan
kegiatan penilaian oleh guru dapat dilakukan dengan menginformasikan silabus
mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada
awal semester, mengembangkan indikator pencapaian Kompetensi Dasar (KD) dan
memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran
serta mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan
teknik penilaian yang dipilih.
Rancangan penilaian dapat dicermati pada
silabus yang telah dimuat di KTSP masing-masing sekolah. Hal itu sesuai dengan
uraian bagian (mekanisme dan prosedur penilaian) yaitu perancangan strategi
penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang
penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Selama proses atau setelah pembelajaran
suatu KD, perlu dilaksanakan penilaian yang utamanya bertujuan untuk melihat
seberapa jauh kemajuan hasil belajar siswa. Pelaksanaan hasil belajar oleh
pendidik dapat dilakukan dengan
melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang
diperlukan, mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar
dan kesulitan belajar peserta didik, mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan
peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik, dan memanfaatkan hasil
penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan
pendidikan harus disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata
pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar. Laporan hasil penilaian
setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan umumnya dilakukan
melalui wali kelas. Hendaknya pelaporan hasil penilaian dari guru kepada wali
kelas menggunakan format laporan yang ‘terbaca’ dalam arti yang dilaporkan
tidak sekedar nilai akhir saja, namun juga dilaporkan darimana nilai itu
diperoleh, misalnya dilaporkan juga nilai rata-rata UH, nilai UTS, nilai
UAS/UKK.
Untuk pelaporan berkaitan dengan
deskripsi kemajuan belajar siswa, yang perlu dilaporkan adalah pencapaian
kemampuan siswa yang sangat menonjol atau yang masih menjadi kelemahan. Selain
itu laporan tentang perilaku dan perkembangan kepribadian juga harus
dilaksanakan. Laporan perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran
harus dilakukan dengan akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila
memungkinkan maka perlu dibuat dalam format komputerisasi. Namun bila tak
memungkinkan dengan komputerisasi maka dapat dilakukan secara manual.
Dari penelitian ini didapat
hasil yaitu perolehan data umum tentang sampel penelitian yaitu danya beberapa
sekoah yang dipilih berdasarkan akreditasi sekolah. Ada banyak hal yang
dtemukan di lapangan seperti, beberapa guru yang telah berpengalaman mengajar
hal ini ditunjukkan dengan perolehan status guru yang telah tersertifikasi, bahkan
secara akademik ditemukan juga guru yang telah bergelar Magister. Akan tetapi
beberapa guru yang belum bergelar sarjana juga ditemukan dibeberapa
sekolah. Hal ini menjadi sangat menarik
bagi peneliti untuk mendata besarnya implementasi guru dalam melakukan standar
penilaian di sekolah.
Untuk mendata itu peneliti
melakukan penyebaran angket ke siswa, hal ini dilakukan untuk mendata besar
implementasi yang dilakukan guru kepada siswa di sekolah. Menurut siswa bahwa
guru hanya melakukan penilaian sebesar 60,77saja, hal ini sangat kurang
kesempurnaaan dalam implementasi penilaian yang diharapkan sesuai dengan Badan Standar Nasional
pendidikan.
Hasil yang ditunjukkan dari angket
guru adalah sebesar 83,17 hal ini merupakan penguatan dari penilaian yang
dilakukan siswa terhadap penilaian guru mereka di setiap sekolah sebesar 60,77.
Dari hasil penilaian wakil kepala sekolah di setiap sekolah bahwa guru telah
melakukan penilaian dengan baik, hal ini ditunjukkan dari hasil sebesar 80,00.
Ini merupakan sebuah proses triangulasi yang peneliti lakukan untuk mendapatkan
keakuratan penilaian kerhadap implementasi guru dalam standar penilaian di
setiap sekolah. Rata-rata angket secara triangualasi didapat nilai sebesar
74,65.
Berdasarkan hasil pengamatan, kuesioner
dan wawancara kepada enam
guru fisika yang mengajar di beberapa SMA di Medan, mekanisme penilaian belum
dilaksanakan dengan baik dan benar.
Hal ini dikarenakan guru hanya memahi penilaian dilakukan pada tengah dan akhir
semester saja, tidak ada nya manajemen sekolah yang tepat juga menjadi kendala
pelaksaan penilaian yang berstandar. Fungsi dan
manfaat RPP dalam kegiatan proses pembelajaran juga masih disalah artikan oleh
guru. RPP disiapkan untuk
melengkapi administrasi pendidikan. Pembuatan
RPP karena tuntutan dari sekolah atau
manajemen kelengkapan adminisrasi bukan keinginan atau
motivasi diri untuk merencanakan dan merancang program pembelajaran yang
efektif. Peneliti menemukan bahwa RPP dibuat untuk satu semester bahkan untuk
satu tahun dan dikumpul kepada kepala
sekolah. Guru fisika sangat jarang membawa RPP ke
kelas, guru hanya membawa buku paket dan LKS yang dibutuhkan
untuk kegiatan belajar. Pelaksanaan yang terjai semua improvisasi oleh guru
saja dan sangat kondisional.
Para
guru juga mengeluhkan RPP yang selalu berubah-ubah. Mulai dari RPP yang biasa
sampai dengan RPP berkarakter. Guru membuat RPP sesuai dengan tuntutan pengawas
sekolah bukan sesuai dengan kompetensi tingkat satuan pendidikan. Selain itu
sistem sekolah yang tidak baik juga mempengaruhi guru menjadi malas merancang
proses pembelajaran. Tentu hal ini sangat tidak baik dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran harus dirancang sehingga hasilnya efektif dan akurat.
Banyak
pencapaian yang harus dilakukan guru yang diinginkan oleh pengawas sekolah atau
tuntutan sistem menjadikan guru tidak lagi dapat melakukan proses pembelajaran
dan penilaian yang sesuai dengan RPP yang telah di rencanakan. Sebuah wawancara
yang dilakukan peneliti ke beberapa guru dalam pengalaman
menulis RPP dan
Implementasi pada pembelajaran di kelas.
Wawancara Guru pertama
“ Penyusunan RPP merupakan suatu kewajiban bagi setiap
guru yang akan mengajar di kelas. Namun dalam kenyataannya penyususnan RPP
beserta elemen-elemen perangkat pembelajaran lainnya menjadi cukup merepotkan
bagi para pendidik ( guru). Dalam
kenyataannya di lapangan, mendapati keadaan seperti masa penyusunan RPP yang cukup mendesak
menyebabkan guru mencari jalan pintas dengan cara mengkopi dari internet dan
bukannya direvisi ulang, namun hanya sekedar diganti nama sekolah dan identitas
lainnya.
Dikarenakan RPP diambil dari internet yang bukan
berdasarkan karakteristik sekolah dan siswa yang bersangkutan, maka pada
tiap-tiap tahapan pada RPP tidak sesuai dan dapat dikatakan jauh dari yang
diharapkan. Alokasi
waktu yang dituliskan di RPP sering
tidak sesuai di lapangan. Misalnya di RPP dialokasikan 6 JP, tapi pada
pelaksanannya meleset dan molor sampai beberapa pertemuan ke depan.
Format RPP yang tidak jelas, cukup membingungkan
guru dalam penyusunannya. Sistem
penilaian(assesment) yang ada di RPP ( dari internet) tidak dapat diberlakukan
ke siswa adanya keterbatasan dalam fasilitas dan kemampuan sisiwa untuk
melaksanakannya. Dari
kesemuanya itu dapat
menarik kesimpulan
bahwa RPP masih jauh dalam implementasinya dalam pembelajaran.
Wawancara guru kedua “ Kurangnya mendapat
pengetahuan mengenai RPP berkarakter, sehingga dalam pembuatan RPP juga harus
bekerja sama dengan guru fisika lain yang ada di sekolah tersebut. RPP diambil melalui
internet dan diedit bersama-sama teman guru fisika yang lain. Kendala di lapangan
dalam kenyataannya sulit menerapkan RPP yang ada dengan kondisi dengan kegiatan
belajar mengajar di sekolah. RPP
terkadang memerlukan alat praktikum dan kenyataannya alat dan fasilitas
disekolah kurang layak untuk di pakai walau tidak keseluruhannya. Alokasi waktu dan
karakter siswa di sekolah sulit untuk diterapkan sesuai dengan RPP jadi materi
tiap semester tidak maksimal disampaikan terutama pada BAB terakhir tiap
semesternya.
Selain kesulitan dalam pembuatan RPP, Pembuat
instrument penilaian, guru cendrung
hanya melakukan penilaian kogntif, serta guru cenderung
menggunakan soal-soal yang sudah ada di buku pelajaran tanpa mengembangkan atau menganalisis soal
tersebut apakah sesuai dengan indikator yang akan dicapai dalam proses
pembelajaran. Format penskoran juga tidak jelas. Dalam menilai komponen afektif
dan psikomotorik, aspek-aspek yang di observasi oleh guru fisika juga tidak
jelas sehingga laporan penilaian pada umumnya hanya dilihat dari nilai kognitif
peserta didik tanpa adanya laporan deskripsi kemajuan peserta didik.
Beberapa sekolah juga tidak mempunyai kisi-kisi soal,
penulisan kisi-kisi hanya dilakukan di kertas selembar tanpa format. Akan
tetapi ditemukan juga dari salah satu objek penelitian yang melakukan pembuatan
instrumen dengan menggunakan format kisi-kisi yang baik dan mengguakan Bank
soal, Hal ini dikarenakan pihak sekolah yang mematuhi peraturan yang di
amanahkan oleh dinas pendidikan yang terkait di daerah tersebut.
Pelaksanaan remedial bagi peserta didik
yang belum mencapai kompetensi juga belum tepat. Pembelajaran remedi yang
diharapkan dalam KTSP minimal mencakup tiga kegiatan, yaitu: analisis kesulitan/kelemahan siswa,
pelayanan pembelajaran remidi
secara formal/informal, dan penilaian kemajuan belajar setelah pelayanan pembelajaran remidi. Fakta
yang terjadi di lapangan, beberapa guru fisika mengatakan
bahwa remedi dilaksanakan dengan membuat ujian ulang dengan soal yang memiliki
karakter sama dengan soal ujian. Ada juga guru yang langsung menggunakan soal
yang sama.
Apabila peserta didik juga tidak lulus remedi,
maka guru langsung memberikan penugasan. Banyak guru fisika mengatakan bahwa
pelaksanaan remedi yang seperti ini diakibatkan oleh masalah waktu. Tetapi
apabila dicermati dengan baik, waktu bukanlah masalah jika guru benar-benar
merancang dan merencanakan pembelajaran.
Dalam
implementasi KTSP diharapkan juga agar tingkat satuan pendidikan memiliki dan
melaksanakan standar penilaian tersendiri. Tingkat satuan pendidikan dapat
melaksanakan standar penilaian di atas standar penilaian minimal yang
ditentukan oleh KTSP sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Dari
enam sekolah yang dijadikan
sebagai objek penelitian, belum ada sekolah yang memiliki standar penilaian
sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa guru yang
memiliki pengalaman yang dibawah sepuluh tahun mengajar memiliki rata-rata
sebesar 69,30, Sedangkan guru yang telah mengajar diatas sepuluh tahun memiliki
rata-rata sebesar 55,67. Hal ini menjadi temuan yang peneliti dapat dari angket
siswa tentang penilaian yang dilakukan guru di dalam sekolah.
Sedangkan hasil yang diperoleh dari angket penilaian yang
dilakukan oleh guru di sekolah, guru yang memiliki pengalaman diatas sepuuh
tahun mengajar mempunyai rata-rata sebesar 76,33, dan guru yang memiliki
pengalaman mengajar dibawah sepuluh tahun mengajar mempunyai rata-rata sebesar
70,33. Dan berdasarkan angket wakil kepala sekolah mengenai implementasi
penilaian yang dilakukan guru di sekolah, untuk guru yang telah memiliki
pengalaman mengajar di atas sepuluh tahun mengajar sebesar 89,7, sedangkan guru
yang memiliki pengalaman mengajar dibawah sepuluh tahun mengajar sebesar 67.
Dari hasil kuesioner dan wawanacara yang telah dilakukan,
banyak faktor-faktor penghambat yang dihadapi guru yaitu:
1. Kurang Sosialisasi dan
pembianaan dari pemerintah. Serta tidak
adanya pernyamaan persepsi yang dilakuakn oleh dinas pendidikan setempat
sehingga guru melakukan penilaian yang menurut guru pahami.
2. Sistem
pengawasan sekolah yang masih lemah. Untuk merancang, melaksanakan, dan
melaporkan hasil dan prestasi belajar peserta didik perlu dukungan dari
sekolah.
3. Adanya sistem penilaian dari sekolah, sehingga guru sulit
untuk memperbaiki mekanisme tata cara penilaian yang berstandar.
4. Minat
dan motivasi peserta didik dalam mengikuti mata pelajaran fisika masih sangat
rendah.
5. Adanya persepsi bahwa penilaian yang berstandar hanya
dari pemerintah yaitu melalui Ujian Nasional.
0 comments:
Post a Comment