Dalam kajian psikologi pendidikan,
dijelaskan bahwa “faktor terpenting bagi guru adalah kepribadiannya,
kepribadiannya itu yang akan menentukan, apakah ia akan menjadi pembimbing atau
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak...”[i] bagi
perkembangan peserta didik dikemudian hari.
Begitulah kehebatan peran dan pengaruh Guru
itu. Sehingga ahli sejarah terkemuka Henry Adams, berkata bahwa: “Seorang guru
itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, di mana pengaruhnya itu berhenti” (a
teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops)[ii].
Sebegitu besar pengaruh paedagogis dari
seorang guru terhadap peserta didik (siswa) dan lingkungan pendidikannya,
sehingga menuntut peran serta posisi strategisnya sebagai sosok yang sarat akan
pesan-pesan yang selalu mempunyai relevansi dengan misi keguruannya.
Masyarakat/orang tua murid pun
kadang-kadang mencemoohkan dan menuding guru tidak kompeten, tidak berkualitas
dan sebagainya. Manakala putra /putrinya tidak bisa menyelesaikan persoalan
yang ia hadapinya sendiri, atau memiliki kemampuan tidak sesuai dengan
keinginan.
Dari kalangan bisnis /industrialis pun
memprotes para guru karena kualitas para lulusan dianggapnya kurang memuaskan
bagi kepentingan perusahaan. Di mata murid-muridpun khususnya di sekolah-sekolah
pada umumnya cenderung menghormati guru karena ingin mendapatkan nilai baik dan
lulus dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras. Tentu saja tuduhan dan protes
dari berbagai kalangan tersebut akan merongrong wibawa guru, bahkan cepat atau
lambat, pelan tapi pasti akan menurunkan martabat guru. Akankah demikian
nasibmu pahlawan tanpa tanda jasa?
Sikap dan perilaku masyarakat tersebut
bukan tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil oknum guru yang
melanggar/menyimpang dari kode etiknya. Anehnya kesalahan kecil apapun yang
diperbuat guru mengandung reaksi yang begitu hebat dimasyarakat. Karena
masyarakat lebih percaya dan menganggap bahwa guru itu adalah “suri tuladan
bagi anak didik”. Pepatah Jawa mengatakan guru adalah digugu lan ditiru segala
perilaku dan tingkah lakunya.
Hal ini menunjukkan bahwa guru sampai saat
ini masih dianggap eksis sebagai “raja ilmu” sebab sampai kapanpun posisi/peran
guru tidak akan bisa digantikan sekalipun dengan mesin canggih atau robot.
Karena tugas guru menyangkut pembinaan sifat mental manusia yang menyangkut
aspek-aspek yang bersifat mnusiawi yang unik dalam arti berbeda satu dengan
yang lain.
Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap
profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1.
Adanya
pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru, asalkan
mempunyai cakrawala ilmu yanmg luas.
2.
Banyaknya
guru yang kurang menghargai profesinya, apalagi dalam mengembangkan profesinya
tersebut. Karena adanya penyalahgunaan dan rasa rendah diri sebagai guru yang
tidak puas akan kepentingan pribadi, sehinggab martabat serta wibawa guru
semakin merosot dikalahkan oleh ilmunya sendiri, karena pada hakekatnya sebagai
guru profesional belum mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah di bumi[iii].
Guru harus peka dan tanggap terhadap
perubahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sejalan
dengan tuntutan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat, boleh jadi apa yang
kita terima hari ini akan berbeda sekalin dengan apa yang diterima anak cucu
kita. Disinilah tugas guru senantiasa meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan,
meningkatkan kualitas pendidikannya sehinggan apa yang diberikan kepada
siswanya tidak terlalu ketinggalan dengan perkembangan kemajuan jaman.
Selain itu, juga fenomena yang muncul
adalah profesionalisme guru yang kurang. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan guru kurang profesional dalam memangku
jabatannya. Pertama, faktor internal biologis. Guru manusia yang juga
butuh kesehatan dan nutrisi seimbang melalui pola makan yang sehat agar bisa
produktif. Sesuai anjuran para ahli, pola makan yang baik dapat meningkatkan
kesehatan. Bisa disimpulkan, bagaimana mungkin para guru bisa sehat (produktif
dan profesional), kalau hanya sekali makan telur atau lauk.
Kedua, faktor internal psikologis. Di samping punya tanggung
jawab terhadap anak didik dan lembaga pendidikan, guru juga punya tanggung
jawab terhadap keluarga (anak, suami/istri). Dengan penghasilan minim, ia akan
mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya. Sehingga
satu per satu akan muncul kebutuhan atau dorongan lain.
Keadaan munculnya dua kebutuhan atau lebih
saat bersamaan, akan menimbulkan konflik. Kurt Lewin (1890-1947) membedakan
tiga macam konflik. Konflik yang dialami para guru adalah konflik approach, yakni jika
dua kebutuhan atau lebih muncul secara bersamaan dan keduanya mempunyai nilai
positif bagi individu.
Jika muncul kebutuhan atau dorongan untuk
bertindak tapi tidak dapat terpenuhi atau terhambat, akan menyebabkan frustrasi
atau depresi. Gangguan frustrasi atau depresi secara fisik memang tidak tampak,
namun siksaan bagi para pengidapnya sangat berat. Setiap detik penderita akan
disesaki oleh kekhawatiran, ketakutan dan kengerian.
Hal yang tak kalah berat dialami penderita
depresi, tidak hanya pikiran tapi juga fisik. Sakit kepala, sakit perut dan
tubuh makin kurus, kegembiraan hidup musnah dan hidup terasa hambar (Kompas,
15 Februari 2003). Jadi bagaimana mungkin seorang guru harus berkarya, kalau
setiap hari frustrasi atau depresi?
Ketiga, faktor eksternal psikologi. Gaji yang minim, penunjang
profesionalitas juga minim. Kalau gaji minim tapi tanggung jawab berat, guru
akan merasa tidak dihargai. Ada
suatu kisah seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya.
Murid-murid yang diajarnya sudah bisa komputer, internet, bahasa Inggris, dan
berwawasan luas, disebabkanorang tuanya langganan koran. Akibatnya, sang guru
merasa minder.
Tak kalah penting, yang perlu diperhatikan
adalah proses rekruitmen guru. Proses rekruitmen guru tak sekadar mengisi
kekurangan, tapi juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab meski
maraknya teknologi informasi mampu mengadakan sumber ajar yang besar, guru
tetap memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.
Bahkan tidak cukup dengan itu saja, untuk
membangun kembali puing-puing kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru yang
hampir tumbang diterjang kemajuan jaman, maka guru perlu tampil di setiap
kesempatan dalam masyarakat baik sebagai pendidik, pengajar, pelatih, inovator
maupun dinamisator serta menerapkan pendidikan progesivisme dan parenialme,
yaitu pendidikan yang fleksibel, corious, tolerant dan open minded artinya yang
selalu mengalami perubahan dan perkembangan proses belajar dengan tidak
meninggalkan pendidikan pada masa lampau. Hal ini untuk menciptakan pembangunan
masyarakat yang bermoral Pancasila sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia .
0 comments:
Post a Comment