akhlak merupakan suatu cerminan atau tolak ukur terhadap
setiap sikap, tindakan, cara berbicara atau pola tingkah laku seseorang itu
baik atau buruk, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, terhadap sesama
manusia, akhlak terhadap Allah Swt, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi
akhlak merupakan fondasi atau dasar yang utama dalam pembentukan pribadi
manusia yang seutuhnya, agar setiap umat Islam mempunyai budi pekerti yang baik
(berakhlak mulia), bertingkah laku dan berperangai yang baik sesuai dengan
ajaran Islam.
Berdasarkan penjelasan di
atas dalam penelitian ini arti kata akhlak bisa disamakan dengan kata etika,
moral dan etiket. Namun hanya kata akhlak dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut perilaku lahir dan
batin manusia. Karena, itu dalam penelitian ini, akhlak yang dimaksud
adalah "pengetahuan menyangkut perilaku lahir dan batin manusia".
Penjelasan di atas
menggiring pemahaman bahwa istilah pendidikan akhlak dimaksud dalam penelitian ini adalah "suatu kegiatan pendidikan
yang disengaja untuk perilaku
lahir dan batin manusia menuju arah tertentu yang dikehendaki".
Tujuan Pendidikan Akhlak
Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan berbicara
tentang pembentukan akhlak, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli
yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad
Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah
jiwa dan tujuan pendidikan Islam (al-Abrasyi 1974, hlm. 15). Demikian pula
Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik
dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba
yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam (Marimba
1980, hlm.48-49).
Akan tetapi,
sebelum kita lanjutkan tentang tujuan pendidikan akhlak ada masalah yang perlu
kita jawab terlebih dahulu dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat
dibentuk atau tidak?. Menurut sebagian ahli mengatakan bahwa akhlak itu tidak
perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (Gharizah) yang
dibawa manusia sejak lahir (Mansyur 1961, hlm. 91). Bagi golongan ini bahwa
masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, dan dapat juga berupa
kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan
seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk
atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran
bathin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak
akan sanggup mengubah perbuatan bathin. Orang yang bakatnya pendek tidak dapat
dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian pula sebaliknya (Al Ghazali
t.t., hlm. 54).
Selanjutnya ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan,
latihan, pembinaan, dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh (Al Ghazali t.t.,
hlm. 90). Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari
ulama-ulama Islam yang cenderung kepada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali
dan lain-lain termasuk pada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil
usaha (muktasabah).
Imam al-Ghazali
misalnya mengatakan bahwa: “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima
perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan. Dan tidak ada
pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”
(Al Ghazali t.t., hlm. 54). Pada kenyataannya di lapangan usaha-usaha pembinaan
akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus
dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang peril dibina dan pembinaan
ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang
berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-NYa, hormat kepada ibu bapak,
saying kepada makhluk Tuhan dan seterusnya.
Akan tetapi keadaan sebaliknya juga menyatakan bahwa
anak-anak yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan,
dan pendidikan, terntaya menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat,
melakukan berbagai perbuatan tercela, dan seterusnya. Ini semua menunjukkan
bahwa akhlak memang perlu dibina agar akhlak generasi penerus kedepan menjadi
lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.
Keadaan pembinaan
ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak
tantangan dan godaan sebagai sebagai dampak dari kemajuan teknologi. Saat ini
misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia
ini, baik itu berupa yang baik atau pun yang buruk, karena adanya alat telekomunikasi.
Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat
televis, internet, faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat
hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat jujga banyak. Demikian pula dengan
obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistic dan hedonistik
semakin menggejola. Semua itu jelas membutuhkan pembinaan akhlak (Nata 2002).
Jadi untuk membina
agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan
pengertian saja, akan tetapi memerlukan membiasakannya melakukan perbuatan yang
baik, dan diharakan nantinya dia mempunyai sifat-sifat tersebut dan menjauhi
sifat-sifat tercela. Kebiasaan latihan itulah yang membuat ia cenderung kepada
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Pembinaan moral,
pembentukan sikap dan pribadi pada
umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau Pembina pertama
adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak sewaktu
kecilnya, akan merupakan unsur pentingdalam pribadinya. Sikap anak terhadap
agamanya dibentuk pertama kali oleh orang tuanya, kemudian disempurnakan atau
diperbaiki oleh guru di sekolah.
Latihan-latihan
keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa, membaca al-quran,
sembahyang berjamaah di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak
kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang melakukanibadah tersebut. Latihan
keagamaan, yang menyangkut akhlak dan ibadah sosial atau hubungan dengan sesama
manusia sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting daripada hanya sekedar
kata-kata.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada 3 (tiga)
aliran yang sangat popular, yaitu aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran
konvergensi (Abudin Nata, 2002). Menurut aliran nativisme bahwa factor yang
paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan
dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada yang baik, maka
dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.
Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap
potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan
aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di
atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peran
pembinaan dan pendidikan.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa factor yang
paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar,
yaitu lingkungan social termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika
pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak
itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak lebih percaya kepada peranan
yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Sementara aliran konvergensi berpendapat bahwa
pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu factor pembawaan
anak dan factor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara
khusus, atau melalui berbagai metode (Arifin 1991, hlm. 13).
Aliran ketiga ini sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagaimana firman Allah dalam al-quran yang berbunyi: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun,
dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik,
yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus
disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini juga
sesuai dengan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim terhadap anak-anaknya,
sebagaimana tersebut dalam firman Allah yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anak-anaknya di waktu ia
memberika pelajaran kepadanya. `hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang
besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang
ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah
lemah dan menyapihnya dalam dua tahun,
bersyukurlah kepadaKU dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-KUlah
kembalimu (QS : Luqman :13-14).
Ayat tersebut
selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Lukman
Hakim, juga berisi materi pelajaran yang utama diantaranya adalah pendidikan
tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang
kokoh bagi pembentukan akhlak.
Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan
dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
membawa fitrah (rasa ketuhanan dan
kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak
itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadits tersebut di atas jelas sekali bahwa
pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya
orang tua terutaman ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat
berlangsung kegiatan pendidikan.
Dari penjelasan di
atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor yang paling dominan terhadap
pembentukan akhlak anak didik adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang
dibawa anak dari sejak lahir, sementara faktor eksternal yang dalam hal ini
adalah dipengaruhi kedua orang tua, guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat.
Melalui kerja sama yang baik antara 3 lembaga pendidikan tersebut, maka aspek
kognitif (pengetahuan), apektif (penghayatan), dan psikomotorik (pengalaman)
ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak.
Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan
pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan seperti yang disinggung
dalam al-Qur’an yaitu membina manusia baik secara pribadi kelompok agar
mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah.
Tugas khalifah sendiri harus memenuhi empat sisi yang saling berkaitan yaitu
pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat atau lingkungan di mana
manusia berada, dan materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan. Dan
keempat hal ini saling berkaitan, itulah sebabnya sering terjadi perbedaan dan
tujuan pendidikan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, karena
mereka harus memperhatikan faktor lingkungan di mana manusia itu berada
(Mahmudah, tt., hlm. 56).
Berdasarkan penjelasan di atas, wajar kiranya Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam identik
dengan dasar tujuan Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu
al-Qur’an dan Hadits, pemikiran yang serupa juga dianut oleh para pemikir
pendidikan Islam, atas dasar pemikiran tersebut maka para ahli pendidikan dan
pemuka pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam
dengan merujuk kedua sumber utama ini (Jalaluddin 2001, hlm. 8).
Secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik
tolak dari urgensi akhlak dalam
kehidupan. Tokoh yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar
Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam
tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik
dan bahaya berbuat salah" (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak
setidaknya dapat menjadikan orang baik.
Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi
pekerti yang mulia dan terhindar dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh
lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan
menggunakan kata adab atau ta'dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas
Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras
dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta'dib. Al-Attas menganggap bahwa proses pendidikan sebagai
penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses
yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79). Penjelasan al-Attas ini menggambarkan
bahwa potensi akhlak berada pada Realitas Tertinggi yang merupakan titik
sentral dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan
kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia itulah, maka mengatakan Ibn
Miskawaih bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan atau bernilai
baik (Badawi 1963, hlm. 478). , sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa'adat
(kebahagiaan sejati/kebahagiaan yang sempurna). Pendapatan ini beralasan
bahwa kebaikan itu merupakan tujuan setiap orang, factor anugerah Allah yang
dapat mencapai kebaikan, disamping adanya kesungguhan berusaha dan berkelakuan
baik (Miskawaih 1982, hlm. 41-45). Seperti yang disimpulkan oleh Suwito bahwa
tujuan pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibn Miskawaih adalah terciptanya
manusia berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan
yang ada dalam diri manusia secara spontan (Suwito 1992, hlm. 157).
Rumusan tujuan pendidikan akhlak seperti ini hakekatnya
dapat dilakukan melalui membangun motivasi
pribadi dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas kehidupannya selalu melakukan
sesuatu dengan mengikuti akhlak nabi,
baik dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi maupun terhadap orang
lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya
manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi".
0 comments:
Post a Comment