Sejarah HMI :
Sejarah Perjuangan Kaum Intelegensia Muslim Indonesia*)
Oleh Arip Musthopa
Ketua Bid. Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008
Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI
adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah
pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan
umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna
kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane
dkk menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini,
melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan
ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi
nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna
yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian
integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan
kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran
Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari
dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah
permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim
nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara
dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu
yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar
Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan
Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947
bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik
Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam.[1]
Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh
penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di
Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin
al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.[2] Masuknya Islam ke
bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara.
Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu
peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5
s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat
428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M),
dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).[3] Dengan demikian,
Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu
ajaran agama dan peradaban[4] sehingga merupakan
hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash
University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c.
1200[5] untuk
menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali
Islam dipeluk penduduk bumi nusantara. Kata ‘modern’ yang disematkan kepada
bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an
tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena
berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa
kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi
nusantara (Indonesia).
Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah
berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan
mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan
puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294
M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada
1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara,
terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya
kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu
menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat
Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang
Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.[6]
Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat
di kawasan Malaya-Nusantara.
Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya
di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5
abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah
Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya
telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga
tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi
nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada
umumnya sejak abad ke-15 M.[7] Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan
kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad
ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M),
Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa
memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah
kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit[8] di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum
intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan
Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi
nusantara dari tangan mereka.[9]
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik
baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul
kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda
yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa
penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah
orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap
ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia
mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak
pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya
politik etis tersebut.[10]
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut
memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan
Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat
penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu
sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism
and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang
berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama,
munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang
dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama
Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama
ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang,
nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.[11]
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang
justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda
sendiri. Kahin menyimpulkan:
Perhatian Belanda yang terlalu
besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu
mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap
rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi
Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang
memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan
Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari
ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling
potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.[12]
Ketiga, kaum terpelajar, dengan
mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri
mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat
membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air.
Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda
dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka
menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang
sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji
mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia
belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga
menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu
memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern
(elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan
kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping
perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini
diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian
banyak bermunculan.[13]
Senada dengan Kahin, Yudi Latif
dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa
lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok
historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim
inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia
Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan
berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.[14]
Latar sejarah di atas, dengan
tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk
memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat
peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar
tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad
ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya
muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi
nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun
demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi
nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada
permulaan abad ke-20 telah tercapai ?
Yudi Latif menggambarkan
sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai
suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia
khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali
mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak
berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja
kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat
Indonesia.
Dalam perjalanannya, HMI
memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa.
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam
lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman
perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase
konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari
1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase
perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan
pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada
masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi
yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari
Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman
Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan
pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada
fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan
Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965
berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat,
zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI
sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase
partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan
pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid
(Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik
”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun
1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang).
Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II
(2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis
meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam
permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan
dua kali dualisme kepemimpinan. [15]
Dalam mengenali kesejarahan HMI
misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama
dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16]
Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang
heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam
perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari
segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI
dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia.
Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh
gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir
dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an
akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam
yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).
Meski gelombang intelektualisme
ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI,
gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang
politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir
politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan
asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan
tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan
kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan
menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed)
di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan
tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung
dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran
bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif,
dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga
mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal
ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku
merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi
fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta
sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel
Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses
diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi
wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial
dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan
menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang
jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di
HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya
memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana
keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang.
Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political
oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan
profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang
mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan
jabatan politik atau politik struktural.[17]
Pemaparan beberapa perspektif
dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama,
HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan
umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan
karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan
integratif yang tidak perlu dipertentangkan.[18]
Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat
dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya
tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap
menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah
sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat
dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan
produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh
corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah
pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@
*) Disampaikan dalam LK II HMI
Cabang Manado, Manado 3 Juli 2007.
[1] Agussalim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.
[2] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2004 cet II, penerjemah Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal
28.
[3] Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan
mereka dapat dibaca dalam Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual
Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
[4] Karena telah mapan, maka tanda-tanda
kemundurannya sudah mulai nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk
melalui daerah pantai yang merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam
di Jawa baru berkembang setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri
1294 M), hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun
1511. Malaka ketika itu merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang
dikuasai Islam. Dengan demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang
di bumi nusantara justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi
peradabannya di dunia global.
[5] Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981,
Ricklefs menulis, ”Dalam pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah
menjadi unit sejarah yang padu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia
Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu diketahui bahwa versi awal buku ini
memang mencantumkan periode sejarah Indonesia modern dimulai tahun ±1300,
sebelum kemudian direvisi pada edisi ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya
nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.
Di bagian I buku tersebut, Ricklefs memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.
[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
[7] Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki
momentum yang cukup untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.
[8] Dinamika internal yang dimaksud adalah
konflik kekuasaan (suksesi kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan
diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus
bersekutu dengan VOC untuk memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal
ini adalah persaingan antara Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya
pernah bersekutu dengan VOC untuk menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini
konflik internal bersifat kontraproduktif.
[9] Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang
dicurahkan untuk berjuang melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di
bumi nusantara juga pernah berhadapan dengan Portugis dan Inggris --penulis)
yang muncul dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua
pemberontakan dipimpin oleh ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian
harus ditebus ternyata luar biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia
selama ratusan tahun terbiasa hanya berpikir reaktif dan bersikap fight
against, yakni berjuang untuk melawan, melawan, dan melawan, karena memang
kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai
sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap fight for (pro aktif,
membangun --penulis). Tentu, ada beberapa pengecualian. Misalnya, mereka yang
berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal ini sebagai salah satu
faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat menciptakan peradaban
yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi
tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid:
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.
[10] Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan
sebagai buah politik etis pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi
(bangsawan).
[11] George
Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in Indonesia), Penerjemah
Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press, Solo, 1995, hal 59.
[12] Ibid, Hal 58
[13] Peran agama Islam dalam
menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya mengejawantah ke dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Ibid, hal
64.
[14] Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan
Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan,
Bandung, 2005.
[15] Lihat, Prof. Dr. H.
Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan
Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI Cabang
Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian lebih
lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun
1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.
[16] Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas
siapa yang pertama kali melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan
gelombang ini dalam tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru
HMI: Epistemic Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006;
dan dalam teks Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5
Februari 2007.
[17] Perspektif gelombang sejarah HMI dan
penggunaan metode arkeologi pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat
di Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007.
Pendekatan arkeologi pengetahuan juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres
XXV HMI Februari 2006 di Makassar.
[18] Pandangan ini harus dipertahankan disamping
karena faktor kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena
kita harus waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam
di Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan
penginjil Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip
Nurcholish Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa
khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah
Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya
Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain,
strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan
kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat
Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.
0 comments:
Post a Comment