Tuesday, April 7, 2015

Dengan Cara Berpikir Seimbang

Standard
Menggapai Masa Depan
Dengan Cara Berpikir Seimbang

            Masa depan adalah masa yang menjadi idaman setiap orang. Dan masa depan itu pastilah diidamkan sebagai suatu masa yang indah, makmur, sejahtera, bahagia. Masa depan adalah cita-cita dan harapan. Tiap orang tua tentu berharap bisa memberikan masa depan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

            Apakah itu sesuatu yang wajar dan bisa dicapai dengan mudah? Pengalaman dan realitas membuktikan bahwa hal itu tidak mudah. Orang tua yang merasa harus memberikan masa depan terbaik bagi putra-putri ini sering kali lupa bahwa masa depan bukanlah milik mereka atau milik siapapun.

            Memang, masa depan bukan milik siapapun. Masa depan adalah suatu masa suatu masa yang tidak bisa kita raba, kita rasakan, kita tentukan, kita pastikan, apalagi kita berikan!.

            Jadi omong kosong kalau orang tua akan memberikan masa depan terbaik untuk anak-anaknya. Memberikan masa depan berarti memberikan mimpi atau lamunan. Masa depan itu serba tidak pasti. Tidak jelas apakah hijau, merah, ataukah kuning. Dan bila orang lantas terpaku pada sesuatu yang tidak pasti, memimpikan masa depan itu, yang terjadi justru suatu kehancuran. Mengapa? Karena orang tidak lagi memperhatikan dan tidak menyadari hidup di masa sekarang yang sedang dijalaninya dari detik ke detik.

Jadi bagaimana?! Apakah kita masih terus berharap memberikan, merebut, dan memimpikan masa depan itu?
            Selama ini mungkin kita sangat terbiasa dengan masa depan sebagai suatu istilah yang menggambarkan harapan indah. Gambaran keberhasilan masa depan adalah gambaran tentang suatu hidup yang berjalan secara penuh perhitungan, matematis, rasional, objektif, realistis, dan logis.

            Masa depan seolah tidak layak digambarkan sebagai sesuatu yang kabur, kualitatif atau tidak sistematis. Menurut pendapat sementara orang, masa depan harus pasti. Harus logis. Masa depan tidak bisa digambarkan sebagai sebuah lukisan abstrak yang kita sendiri tidak tahu artinya. Manusia menuntut suatu gambaran tentang masa depannya sebagai suatu yang pasti, jelas, dan harus bagus.

            Itulah gaya manusia hidup: ingin segala sesuatu serba pasti dan terukur. Kita seakan menuntut seakan segala hal dalam hidup kita harus masuk akal, termasuk masa depan. Kita tidak akan dan tidak mau menerima begitu saja penjelasan bahwa masa depan itu adalah sesuatu yang di luar jangkauan kita untuk menentukannya. Begitu pula kita tidak akan terima bila seseorang mengatakan bahwa masa lalu adalah sebuah impian yang selayaknya tidak mengganggu kehidupan kita di masa sekarang.

            Kebanyakan orang sering kali hidup di masa depan atau justru hidup di masa lalu. Inilah orang-orang yang mati di dalam kehidupannya.

            Kembali ke masa depan, setiap orang tua yang ingin memberikan masa depan terbaik buat putra-putrinya, secara spontan juga akan berfikir bahwa itu berarti menyediakan pendidikan terbaik, akomodasi terbaik, makanan yang terbaik (bergizi), dan kalau memungkinkan, permodalan dalam bentuk materi yang cukup.

            Hal seperti itu seolah menjadi naluri kebanyakan orang tua. Orang tua memberikan kepada anak-anaknya harapan bahwa masa depan itu adalah sesuatu yang indah, sejahtera, dan membahagiakan. Dan untuk menggapai hal itu, si anak haruslah rajin belajar, bekerja keras, dan berfikir secara logis dan rasional. Jangan menjadi pemimpi dan penghayal bila ingin mendapatkan masa depan yang indah tadi. Itu pesan standar para orang tua yang selama ini kita dengar.

            Dalam pandangan umum, pendidikan formal merupakan jalan tol bebas hambatan menuju masa depan. Ilmu matematika, aritmatika, fisika, kimia, dianggap merupakan kunci utama membuka masa depan yang cerah dan gemilang. Dan biasanya, dengan pendidikan formal yang terjamin mutunya, orang tua sedikit terhibur atau bahkan merasa pasti masa depan putra-putrinya pasti aman.

            Kehidupan manusia saat ini memang di dominasi oleh materi. Masa depan cemerlang pun artinya adalah materi yang berlimpah dan hidup sejahtera. Manusia tergila-gila pada sesuatu yang logis, rasional, dan segala sesuatu dalam kehidupan harus masuk akal. Kondisi manusia saat ini jauh dari paradigma ideal. Manusia makin rapuh dan lemah secara mental. Manusia Indonesia merasa gagah secara fisik karena bisa menghadirkan teknologi dirgantara. Padahal di Barat orang justru mulai sadar bahwa teknologi bukanlah segalanya di dalam kehidupan.

            Bahkan pada suatu seminar tentang penelitian ilmu medis di Amerika, pernah di ungkapkan bahwa dalam ilmu pengobatan medis modern hanya kurang lebih 25% yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan selebihnya adalah suatu tindakan trial dan error (coba-coba). Sementara itu kita menganggap – bahkan menggantungkan hidup kita! – justru dari tindakan medis modern yang kita klaim adalah segalanya.

            Fenomena masa depan seperti yang diperbincangkan di atas adalah suatu keadaan yang menjelaskan betapa rapuh-nya manusia menata konstruksi rumah kehidupannya, fenomena ini sangat jelas terbentang di bumi Indonesia. Dan dari berbagai kondisi di lapangan dan hidup sehari-hari, terpapar secara gamblang bahwa manusia Indonesia adalah makhluk yang diharapkan sepenuhnya logis, rasional, sistematis bahkan matematis. Di sisi lain kita seolah berusaha menutupi keadaan sebenarnya. Kita menyebut diri sebagai manusia religius yang sangat taat kepada Tuhannya.

            Sekali lagi ini menunjukkan rapuh-nya tatanan kehidupan kita. Religius di dalam pengertian kita adalah spiritual. Dan kehidupan spiritual ala Indonesia itu lalu berjalan seperti sebuah hafalan, memorisasi yang diulang-ulang tanpa makna.

            Selain penggambaran masa depan yang salah kaprah. Sistem pendidikan kita juga kehilangan esensi-nya dan hanya bergantung kepada metode memorisasi. Ini justru menciptakan lebih banyak lagi kerapuhan di dalam kehidupan. Sebagian pemikir mengatakan bahwa manusia kehilangan arah, rapuh, dan lemah. Karena melenceng dari fitrahnya. Manusia kehilangan identitas dan jati dirinya.

            Perburuan teknologi yang berlebihan membuat manusia lupa kepada asal usulnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan fisik maupun psikis. Ketika manusia semakin mengejar teknologi untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Manusia justru makin terperosok lebih jauh ke dalam kerapuhan mental dan kelemahan hidup.

            Kita bisa melihat bahwa ketika agama mencapai puncak kejayaannya sebagai sebuah lembaga. Di bagian lain manusia yang mengaku sebagai penganut setia agama justru menjadi buas dan tindakannya sangat berlawanan dengan ajaran agama itu sendiri. Itu terjadi dengan begitu saja dan sering kali peristiwa kebuasan manusia itu justru dipoles dengan tradisi serta lambang keagamaan untuk mensyahkan perbuatan itu. Hal ini akan terjadi ketika manusia mempelajari atau mengakses agama hanya sebagai sebuah ritual, seremonial, dan tanpa pemahaman spiritual, yang memang memerlukan pemikiran lebih dari hanya sekedar menghafal dengan bagian otak kiri, yang rasional, dan logis itu. Tapi manusia kita saat ini memang hanya mengerti cara tersebut. Agama saat ini hanya menjadi label dan kemasan agar orang yang bersangkutan tampil rapi dan memenuhi syarat sebagai warga negara, itu saja!.

            Spiritualitas menjadi barang langka dan terasa sangat jauh dari jangkauan. Sementara orang di Barat yang dianggap sebagai biang teknologi justru menyadari bahwa hidup ini haruslah punya nuansa spiritual. Kita yang di Timur, yang katanya gudang spiritualitas, malah menganggap hal-hal yang spiritual sebagai mistik, klenik, dan omong kosong yang tidak perlu terlalu dipikirkan.

            Sebaliknya di sisi lain kita tergila-gila pada tahayul, pada kekuatan gaib yang memungkinkan suatu tindakan fantastik, menebar asap berwarna-warni, suara-suara yang tidak jelas berasal dari mana dan keajaiban lainnya. Tidak sedikit masyarakat kita yang percaya akan kesaktian keris yang mampu menolak bala, batu cincin atau akik tertentu yang membawa berkah dan nasib baik, dan di berbagai majalah selalu ada ramalan tentang masa depan berdasarkan horoskop, yang Anda kritik atau cela tetapi diam-diam Anda baca dan ikuti saran dan ramalan-nya. 

Tidak jarang pula yang lari kepada dukun atau para normal begitu mendapatkan musibah yang secara medis modern tidak terdeteksi. Bahkan ketika kita beribadah sering kali yang kita katakan dalam do’a adalah permintaan akan segala macam hal, dari yang mungkin dan rasional sampai ke yang tidak masuk akal. Di dalam kehidupan ini kita kerap kali berdagang dengan Allah SWT, kita membuat pahala, beramal dan berbuat kebaikan-kebaikan yang sebenarnya kita dasari pamrih untuk mendapatkan sesuatu kelak. Kita tidak pernah beribadah dengan alasan hanya Kasih atau Cinta saja.

            Makin lama kita makin rapuh, pertama kali mungkin secara mental dan psikis. Lalu sesudah itu kita rapuh secara fisik. Fisik yang eksistensinya didukung oleh psikis pada akhirnya akan rusak dan tidak mampu menyangga sendiri eksistensinya.

            Tidak ada jalan lain bagi siapapun untuk mendapatkan hidup yang berkualitas selain memulai keseimbangan, memahami spiritualitas, dan memahami kehidupan sebagaimana adanya.

            Harus ada yang mau mulai memahami bahwa tindakan medis adalah salah satu upaya. Bukan segalanya! Dalam hal ini harus diakui bahwa, setiap tahunnya, di Amerika ada 10 ribu orang mati karena kesalahan tindakan medis yang 75% berupa trial and error.

            Juga harus ada yang mulai mau menyadari bahwa agama bukan sekedar identitas, hafalan, atau negosiasi belaka. Agama juga bukan sebuah lembaga bisnis yang gemerlapan sehingga harus bersaing untuk mendapatkan banyak pengikut.

            Agama adalah suatu ajaran yang akan menuntun kita menempuh jalan keseimbangan untuk mendapatkan hidup berkualitas, bukan sekedar pahala atau kapling di surga.

            Hidup berkualitas berarti sehat secara tubuh, pikiran, dan jiwa/roh. Ini membutuhkan pemahaman, disiplin, dan maksimalisasi pada proses, bukan hasil akhirnya.

            Sistem pendidikan di masa lalu sampai saat ini berorientasi pada isi dan bukan pada proses belajarnya sendiri. Yang ingin di capai adalah hasil akhir berupa prestasi atau nilai tertinggi dan secara lebih jelas lagi, gelar dan ijazah! Acuan utamanya adalah memorisasi, hafalan. Para peserta pendidikan di seluruh tingkatan formal di tuntut untuk mampu dan mahir di dalam hafalan serta memiliki sistem memorisasi yang baik. Itulah para meter keberhasilan yang saat ini dipakai dalam sistem pendidikan kita. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan memorisasi cukup tinggi, akan terdaftar dan terdata sebagai kurang berhasil di dalam pendidikan. Itu suatu vonis yang akan berlangsung seumur hidup dan mempengaruhi kehidupannya kelak.

            Memorisasi dianggap sebagai sebuah produk utama yang akan menunjang keberhasilan seseorang di masa depan. Ini sudah menjadi semacam hukum tak tertulis di masyarakat: seorang yang daya ingatnya rendah berarti bodoh. Padahal memorisasi adalah produk mental dengan kadar yang terendah dan terhitung primitif. Hal ini di buktikan dengan perkembangan teknologi yang kian mampu menggantikan kecanggihan memorisasi manusia bahkan mengalahkan secara telak. Manusia sekarang sudah hampir tak berdaya bila diadu kecepatannya menghitung dengan kalkulator. Belum lagi komputer yang mampu menyimpan sekian megabyte data dan mengeluarkannya lagi seketika dengan tepat hanya dengan menyentuh satu dua tombol keyboard. Dibanding dengan alat-alat modern, memorisasi manusia tidak ada apa-apanya.

            Kehidupan berkualitas tidak ditentukan oleh seberapa hebatnya kita menghitung, seberapa besar kapasitas memori otak kita. Kehidupan berkualitas ini justru di ukur dari hal-hal yang sederhana dan mendasar, misalnya, seberapa banyak kita menghakimi orang lain pada hari ini, seberapa sering kita mengucapkan terima kasih, atau seberapa banyak waktu yang kita gunakan untuk sepenuhnya menyadari tindakan-tindakan kita?

            Sayangnya, hal-hal seperti itu justru tidak menjadi perhatian kita. Itu adalah hal-hal sepele, remeh. Mungkin itu adalah pendapat Anda bila melihat parameter kualitas hidup. Tapi benarkah hal di atas adalah sepele dan mudah dilakukan siapa saja, termasuk Anda sendiri?

            Cobalah Anda melakukan hari ini. Cobalah dengan memulai tersenyum pada setiap orang yang Anda jumpai hari ini. Setelah itu cobalah Anda mengucapkan terima kasih pada setiap pengamen dan pengemis yang Anda beri sedekah. Bukankah ini hal sederhana yang mudah dilakukan? Mulailah dengan hal yang termudah sebelum Anda belajar hal-hal mungkin lebih sulit.

            Proses belajar adalah sesuatu yang seharusnya dijadikan fokus dari keseluruhan pendidikan. Dalam proses terletak esensi pelajaran itu sendiri. Bagaimana seseorang memulai membentuk pikiran untuk melakukan sesuatu proses panjang tentang berfikir suatu hal, adalah inti dari belajar itu. Berpikir dengan pola terbatas, setahap demi setahap dengan orientasi pada hasil akhir adalah yang biasa kita pakai. Cara belajar semacam ini merupakan produk yang mengarahkan seseorang untuk berpikir vertikal. Hal ini akan sangat membatasi orang itu karena terbiasa dengan pola berpikir menunggu satu arah jelas yang relevan, baru menggulirkan pikiran yang berikutnya.

            Berpikir secara vertikal ini memang efektif, tapi ini bukanlah cara berpikir yang lengkap. Dengan pola pikir vertikal, kita hanya terarah pada satu tujuan tertentu yang memang sudah dipolakan. Kita tidak memiliki alternatif selain mengulang pola tersebut, dan bila pola itu tidak bisa di pakai, yang terjadi adalah kita terpaksa mengulangi proses dari awal, setahap demi setahap lagi. Orang akan menjadi sangat efektif tetapi sekaligus juga kaku dan tidak berkembang.

            Metode ilmu pengetahuan dalam pendidikan kita adalah metode konflik. Pendidikan selalu berhubungan dengan masalah pengkomunikasian gagasan. Gagasan ini di usahakan dari waktu ke waktu selalu up to date dengan cara menggunakan konflik. Konflik di sini digunakan untuk selalu memperbaharui gagasan demi gagasan. Dipertentangkannya gagasan dengan informasi baru melalui sebuah konflik adalah cara memperoleh gagasan dan informasi baru yang mutakhir.

            Dalam pola berpikir seperti ini, manusia sangat tergantung dengan produk informasi dan gagasan yang harus terus diperolehnya agar pendidikannya dapat berjalan. Bila suatu saat arus gagasan yang mengalir tersendat, sistem pendidikan juga akan macet dan akibatnya adalah terciptanya anak didik yang kurang secara kualitas maupun kuantitas.

            Cara ini telah dipakai dari waktu ke waktu. Cara berpikir vertikal yang bertahap dan tidak menyeluruh merupakan satu-satunya pilihan yang diberikan oleh pendidikan kita di sini. Bila kita ingin sesuatu yang lain dan kemudian berusaha mencarinya dari buku atau mengambil pendidikan di negara lain yang melengkapi cara pendidikannya dengan metode tertentu, maka kita akan menjadi produk aneh yang sulit beradaptasi di negara sendiri. Itulah keadaan yang melanda kehidupan kita sekarang dengan sistem pendidikan metode berpikir vertikal, rasional, dan memakai bagian otak kiri sebagai tumpuan utama.

            Berpikir sebagai suatu proses merupakan kerja mental. Untuk ini diperlukan suatu pemahaman dan kecerdasan emosi tertentu agar proses ini berjalan dengan kualitas yang baik. Bila berpikir hanya menjadi suatu kerja otomatis yang didasarkan pada memorisasi, yang terjadi adalah suatu kerja mental dalam kualitasnya yang terendah. Hasilnya adalah suatu pengejawantahan informasi secara harfiah dan mentah.

            Proses berpikir cara ini bila ditumbuhkan di dalam suatu masyarakat atau negara, tentu akan menimbulkan banyak dampak sosial. Protes-protes tanpa ujung pangkal yang dimotori olah provokator politik dan kelompok-kelompok yang menggunakan sarana politik sebagai lahan bisnis merupakan salah satu bukti keberhasilan sistem belajar cara ini. Dalam bentuk lebih kecil, cara bekerja yang hanya mengandalkan ijazah dan sekadar berorientasi pada uang adalah bentuk lain dari keberhasilan cara belajar memakai sistem berpikir vertikal. Dalam segala bidang, penyusupan sistem ini bisa sangat beragam, termasuk dalam hal ini adalah cara berpikir kita yang seragam menganggap bahwa masa depan bisa diberikan kepada putra-putri kita.

            Di dalam situasi seperti inilah kita tumbuh dan berkembang, sementara kaum terdidik dan yang berkepentingan dengan masalah pendidikan secara langsung, juga mengalami pendidikan cara berpikir vertikal. Maka yang terulang adalah cara berpikir yang sama, meskipun mungkin pernah terbesit suatu ketika bahwa sistem ini kurang lengkap, namun kembali cara berpikir vertikal yang sudah di tanamkan sejak bertahun-tahun tersebut melenyapkan petikan informasi atau gagasan baru tentang cara berpikir lainnya yang lebih lengkap tadi.

            Tentunya setiap orang ingin hidup sempurna di mana kita melakukan sesuatu atas dasar pilihan dan kesadaran serta ikhlas, bukan keterpaksaan atau sekadar ikut-ikutan. Kehidupan berkualitas dan kebahagiaan akan di peroleh dari keseimbangan antara individu – sosial, duniawi – ukhrawi, logika – religi, otak kiri – otak kanan. Sehingga kita menjadi insan kamil, sebagaimana yang di inginkan Islam. Dengan demikian tugas manusia menjadi sangat sederhana yaitu: beriman dengan sebenar-benar iman, berilmu dengan seluas-luasnya ilmu yang bisa diperoleh dan beramal dengan ikhlas serta sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan agama, umat, bangsa serta negara. Insya Allah dengan kerja keras dibarengi dengan rasa syukur kita akan memperoleh sukses yang luar biasa baik di dunia maupun di akhirat kelak.

            

0 comments:

Post a Comment