Saturday, April 18, 2015

“Seorang guru itu berdampak abadi"

Standard
Dalam kajian psikologi pendidikan, dijelaskan bahwa “faktor terpenting bagi guru adalah kepribadiannya, kepribadiannya itu yang akan menentukan, apakah ia akan menjadi pembimbing atau pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak...”[i] bagi perkembangan peserta didik dikemudian hari.

Begitulah kehebatan peran dan pengaruh Guru itu. Sehingga ahli sejarah terkemuka Henry Adams, berkata bahwa: “Seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, di mana pengaruhnya itu berhenti” (a teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops)[ii].
Sebegitu besar pengaruh paedagogis dari seorang guru terhadap peserta didik (siswa) dan lingkungan pendidikannya, sehingga menuntut peran serta posisi strategisnya sebagai sosok yang sarat akan pesan-pesan yang selalu mempunyai relevansi dengan misi keguruannya.

Masyarakat/orang tua murid pun kadang-kadang mencemoohkan dan menuding guru tidak kompeten, tidak berkualitas dan sebagainya. Manakala putra /putrinya tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ia hadapinya sendiri, atau memiliki kemampuan tidak sesuai dengan keinginan.  
          
Dari kalangan bisnis /industrialis pun memprotes para guru karena kualitas para lulusan dianggapnya kurang memuaskan bagi kepentingan perusahaan. Di mata murid-muridpun khususnya di sekolah-sekolah pada umumnya cenderung menghormati guru karena ingin mendapatkan nilai baik dan lulus dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras. Tentu saja tuduhan dan protes dari berbagai kalangan tersebut akan merongrong wibawa guru, bahkan cepat atau lambat, pelan tapi pasti akan menurunkan martabat guru. Akankah demikian nasibmu pahlawan tanpa tanda jasa?

Sikap dan perilaku masyarakat tersebut bukan tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil oknum guru yang melanggar/menyimpang dari kode etiknya. Anehnya kesalahan kecil apapun yang diperbuat guru mengandung reaksi yang begitu hebat dimasyarakat. Karena masyarakat lebih percaya dan menganggap bahwa guru itu adalah “suri tuladan bagi anak didik”. Pepatah Jawa mengatakan guru adalah digugu lan ditiru segala perilaku dan tingkah lakunya.

Hal ini menunjukkan bahwa guru sampai saat ini masih dianggap eksis sebagai “raja ilmu” sebab sampai kapanpun posisi/peran guru tidak akan bisa digantikan sekalipun dengan mesin canggih atau robot. Karena tugas guru menyangkut pembinaan sifat mental manusia yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat mnusiawi yang unik dalam arti berbeda satu dengan yang lain.

Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1.      Adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru, asalkan mempunyai cakrawala ilmu yanmg luas.
2.      Banyaknya guru yang kurang menghargai profesinya, apalagi dalam mengembangkan profesinya tersebut. Karena adanya penyalahgunaan dan rasa rendah diri sebagai guru yang tidak puas akan kepentingan pribadi, sehinggab martabat serta wibawa guru semakin merosot dikalahkan oleh ilmunya sendiri, karena pada hakekatnya sebagai guru profesional belum mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah di bumi[iii].

Guru harus peka dan tanggap terhadap perubahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat, boleh jadi apa yang kita terima hari ini akan berbeda sekalin dengan apa yang diterima anak cucu kita. Disinilah tugas guru senantiasa meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan, meningkatkan kualitas pendidikannya sehinggan apa yang diberikan kepada siswanya tidak terlalu ketinggalan dengan perkembangan kemajuan jaman.

Selain itu, juga fenomena yang muncul adalah profesionalisme guru yang kurang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru kurang profesional dalam memangku jabatannya. Pertama, faktor internal biologis. Guru manusia yang juga butuh kesehatan dan nutrisi seimbang melalui pola makan yang sehat agar bisa produktif. Sesuai anjuran para ahli, pola makan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Bisa disimpulkan, bagaimana mungkin para guru bisa sehat (produktif dan profesional), kalau hanya sekali makan telur atau lauk.

Kedua, faktor internal psikologis. Di samping punya tanggung jawab terhadap anak didik dan lembaga pendidikan, guru juga punya tanggung jawab terhadap keluarga (anak, suami/istri). Dengan penghasilan minim, ia akan mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya. Sehingga satu per satu akan muncul kebutuhan atau dorongan lain.

Keadaan munculnya dua kebutuhan atau lebih saat bersamaan, akan menimbulkan konflik. Kurt Lewin (1890-1947) membedakan tiga macam konflik. Konflik yang dialami para guru  adalah konflik approach, yakni jika dua kebutuhan atau lebih muncul secara bersamaan dan keduanya mempunyai nilai positif bagi individu.

Jika muncul kebutuhan atau dorongan untuk bertindak tapi tidak dapat terpenuhi atau terhambat, akan menyebabkan frustrasi atau depresi. Gangguan frustrasi atau depresi secara fisik memang tidak tampak, namun siksaan bagi para pengidapnya sangat berat. Setiap detik penderita akan disesaki oleh kekhawatiran, ketakutan dan kengerian.

Hal yang tak kalah berat dialami penderita depresi, tidak hanya pikiran tapi juga fisik. Sakit kepala, sakit perut dan tubuh makin kurus, kegembiraan hidup musnah dan hidup terasa hambar (Kompas, 15 Februari 2003). Jadi bagaimana mungkin seorang guru harus berkarya, kalau setiap hari frustrasi atau depresi?
Ketiga, faktor eksternal psikologi. Gaji yang minim, penunjang profesionalitas juga minim. Kalau gaji minim tapi tanggung jawab berat, guru akan merasa tidak dihargai. Ada suatu kisah seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya. Murid-murid yang diajarnya sudah bisa komputer, internet, bahasa Inggris, dan berwawasan luas, disebabkanorang tuanya langganan koran. Akibatnya, sang guru merasa minder.

Tak kalah penting, yang perlu diperhatikan adalah proses rekruitmen guru. Proses rekruitmen guru tak sekadar mengisi kekurangan, tapi juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab meski maraknya teknologi informasi mampu mengadakan sumber ajar yang besar, guru tetap memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.

Bahkan tidak cukup dengan itu saja, untuk membangun kembali puing-puing kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru yang hampir tumbang diterjang kemajuan jaman, maka guru perlu tampil di setiap kesempatan dalam masyarakat baik sebagai pendidik, pengajar, pelatih, inovator maupun dinamisator serta menerapkan pendidikan progesivisme dan parenialme, yaitu pendidikan yang fleksibel, corious, tolerant dan open minded artinya yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan proses belajar dengan tidak meninggalkan pendidikan pada masa lampau. Hal ini untuk menciptakan pembangunan masyarakat yang bermoral Pancasila sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.



[i] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Ismail SM (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 92
[ii] A. Malik Fadjar, op.cit., hal. 212
[iii] Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 57

0 comments:

Post a Comment