Wednesday, April 8, 2015

Nilai Identitas Kader HmI

Standard
NIK-NDP Basic Contruction
Dalam konteks tersebut NIK “NDP” berfungsi sebagai basic construction yang akan merubah sistem berfikir anggota HMI, dari pemikiran yang bersifat etnisentrimse - ideologi-sentrisme - rasialisme - patronalisme, agamisme, menuju kerangka pemikiran baru yang betul-betul terbebaskan dan merdeka dari sekat-sekat tersebut, sehingga kader HMI menjadi independen dan berpandangan universal. Upaya mewujudkan kualitas kader HMI yang berpandangan universal, karena menyadari asas-asas kemanusiaan, bahwa manusia berasal dari zat kosmos yang sama dan bersumebr pada zat illahi yang transendet. Dengan begitu kader HMI tidak menjadikan faktor-faktor perbedaan pada manusia sebagai alasan untuk tidak saling berinteraksi atau berkomunikasi pada kepentingan yang bersifat kemanusiaan semata. Melainkan kader HMI memandang faktor perbedaan sebagai agenda pluralisme yang menjadi potensi pembangunan kebudayaan dan peradaban untuk umat manusia. Kerangka pemikiran yang demikian ini menganalogikan bahwa seorang anak umat berhidmat dilingkungan HMI maka ia telah mewakafkan dirinya menjadi anak soliter, modern dan universal.

Indikator kemoderenan terlihat, manakala seorang kader HMI memiliki kemerdekaan berfikir dan berprilaku tanpa mengenal batas budaya, agama etnis maupun ideologi. Kemerdekaan cara pandang seorang kader HMI, akan melahirkan kualitas kader yang independencia. Sifat independencia pada kader, menjadikan kader HMI akan bersikap kritis, kreatif, inovatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang transformatif. Dalam konteks ini proses kaderisasi HMI menjadikan setiap anak manusia produk HMI berpandangan dan bersikap universal. Kesaradan terhadap budaya universalisme merupakan kesadaran yang paling asasi dalam humanism. Melalui tahap ini kader HMI dapat mendisain “ide” kemudian menjadi kerangka pemikiran “teoritis” dari teori menjadi kerangka aksi atau prilaku. Jika setiap pemikiran dilakukan secara kontinue dan diikuti secara gradual maupun holistis, maka akan akan menjadi budaya, kemudian menjadi adat istiadat atau pranta masyarakat.

Gambaran NIK- NDP.
Untuk itu sangat penting bagi kader HMI membedah muatan NIK agar dapat menemukan esensi yang menjadi semangat atau spirit yang terkandung didalamnya. Paling tidak terdapat tiga ide besar yang menjadi freem of thingk, Pertama, ide tentang eksistensi Tuhan sebagai penggagas awal sejarah kehidupan berbagai makhluk (kausa prima), Kedua, ide tentang eksistensi manusia sebagai pelaku sejarah, Ketiga, idea tentang tugas kesejarahan manusia dalam mewujudkan peradaban manusia yang berkeadilan sosial maupun berkeadilan ekonomi melalui prinsip ilmu pengetahuan.

Ketiga agenda utama tersebut, merupakan rangkuman dari keseluruhan muatan NIK yang terdiri dari VII bab tersebut. Sesungguhnya formulasi kandungan NIK, adalah tidak lebih dari modifikasi ayat-ayat Tuhan yang disusun secara tematik, sebagaimana sistematika NIK. Olehnya secara organik kandungan NIK tidak lain dari pada susunan ayat-ayat Tuhan, kemudian diuraikan menurut dataran problematika yang dihadapi oleh masyarakat muslim Indonesia. Karena itu baik secara historis maupun sosiologis kehadiran formulasi NIK adalah diarahkan untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dihadapi, maupun dalam kerangka menciptakan kerangka kebudayaan dan peradaban baru sebagaimana kecenderungan yang dunia atau masyarakat yang terjadi.

Pada tataran theologis ketiga pemikiran besar tersebut merupakan sintesa terhadap konflik pemikiran yang terjadi pada abad pertama kelahiran Islam. Karena konflik atau ketegangan kreatif antara aliran kalam jabarian dan aliran kalam qodariyan, kemudian mu'tazilah dan asyarriyah, si’ah dan ahlussunnah waljamah, yang pada puncaknya menjadi ketegangan politik antara daulah Abbasiah dan Muawiyah. Ketegangan-ketegangan tersebut, mrupakan proses yang tidak disadari sehingga memperlemah otoritas integritas umat dan otoritas intelektual umat dalam menggagagas atau melakukan prakarsa tentang berbagai gagasan yang berkaitan dengan transformasi maupun rekayasa peradaban. Untuk itu kehadiran NIK bagi kader HMI dapat berfungsi sebagai metode kritis kearah terciptanya sintesa baru yang yang bersifat postivistis.

Pilihan terhadap format kebudayaan dan peradaban positivistis, mengingat kecenderungan tatanan dunia dewasa ini sangat kuat didominasi oleh kultur ilmu pengatahuan dan teknologis. Kultur ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian ini, merupakan proses yang menghantarkan manusia menjadi mahlukyang berbudaya soliter, berbudaya humanis, dimana seluruh umat manusia akan saling berdialog dan berinteraksi secara transparan, tanpa mengenal sekat-sekat yang membatasi. Proses humanisasi manusia yang menjadi produk positivisme ini, pada gilirannya akan mengarah pada terbentuknya kebudayaan manusia yang universal.

Sebagaaimana deskripsi problematika umat tujuh abad belakangan ini, memperlihatkan sejarah buram umat, dimana umat Islam telah kehilangan supremasi, atau lagi menjadi kekuatan yang disegani baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan teknologis. Meskipun menurut tesis Huntington, bahwa setelah keruntuhan komunis Uni Soviet, masyarakat Barat akan menghadapi kebangkitan dunia Islam sebagai tantangan baru. Tesis ini memang bernada optimisme terutama bagi kalangan Islam, namun secara empiris sangat sulit dipertanggungjawabkan. Karena kita akui bahwa dunia Islam dewasa ini terjebak dalam konflik internal yang berkepanjangan, lihat: Afganistan, Pakistan, Aljazair, Irak, Libya, Palestina dan Turki, teramasuk Indonesia negara-negara tersebut dalam sejarah dikenal sebagai poros kebangkitan dunia Islam.

Pilihan Metodelogi
Dr. Kuntowidjoyo, membagi tiga tahapan perkembangan pemikiran manusia dalam penafsiran terhadap Al-Qur,an sebagai sistem berfikir untuk pembentukan kebudayaan. Pertama, Al-Qur,an sebagai ide mistik, Al-Qur,an sebagai argumen ideologis politis, alquran sebagai kekuatan ide transformatif. Agust Comte, membagi tiga tahapan perkembangan sejarah masyarakat, Pertama, tahap sejarah masyarakat mistitisme, Kedua, tahap sejarah masyarakat teologisme, Ketiga, tahap sejarah masyarakat positivisme.

Mengkaitkan taksonomi sejarah pemikiran masyarakat antara Agust Comte dan Kuntowidjoyo terdapat kesamaan pada tahap terakhir yaitu ide dan Positivisme. Essensi Positivisme Aguste Comte adalah gagasan yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumpu pada semangat rasionalisme dan empirisme. Seperti perkembangan teknologi informasi, teknologi komunikasi, teknologi transportasi yang dicapai saat ini. Kecanggihan teknologi tersebut merupakan sebuah proses kearah terjadinya revolusi sosial, yaitu meretakan dinding-dinding diskriminatif yang membedakan relasi antara manusia atas nama agama, idelogi, etnis, rasialis. Kehadiran peradaban postivisme mewujudkan realasi kesetraan antar manusia, semua bentuk perbedaan atas nama apapun mengalami fase akhir.

Positivisme Comte ini merupakan penolakan terhadap ide tentang prima kausal, eskatologis atau hal yang bersifat metafisika. Karena bagi Comte yang menganut falsafah materialisme sangat meyakini bahwa materi adalah persoalan pertama dan mengalami fase kekekalan atau keabadian. Nampaknya secara emprik gagasan atau falsafah materialisme telah mempenagruhi kerangka keilmuan modern sampai kepada perkembangan teknologi mutaakhir dewasa ini. Sedangkan Ide sebagai kekuatan transformasi yang dikembangkan Kunto, saat ini memiliki kebenaran dalam konteks ruang maupun waktu. Ide yang dimaksudkan Kuntowidjoyo, bukanlah idealisme dalam pemikiran filsafat yang berakar pada Plato (!), melainkan ide sebagai gagasan yang akan menentukan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan konteks era informasi dewasa ini. Setiap manusia yang  beride, ia akan mempunyai peluang, jika ia tidak mempunyai ide maka akan terjadi sebaliknya atau kemanusiaan tanpa makna.

Dewasa ini eskalasi teknologi komunikasi tidak hanya meretaskan hegemoni kemanusiaan oleh sesama manusia, namun lebih dari itu teknologi telekomunikasi telah meruntuhkan dinding-dinding kosmologi yang telah lamamenjadi penjara komunikasi peradaban antara manusia. Era transparansi ini secara sinonim dapat diidentikan dengan era era kosmologi bugil karena tidak ada lagi yang mampu menghambati komunikasi antar manusia. dunia yang tembus pandang ini seakan-akan memperlihatkan abad ini menjadikan manusia sebagai komunitas global yang hidup dalam perkemapungan besar.(global village).

Dalam perspektif inilah Kuntowidjoyo mengajukan sebuah pendekatan ide terhadap al-qura'an. Bahwa qur'an tidak lagi didekati untuk membangun pemikiran mistis yang tidak dapat difahami oleh logika rasional manusia. Sesuatu yang paradoksal bila kehadiran Qur'an hanya berfungsi sebagai jimat yang kering dari makna sosial bahkan a rasional. Dan pengkajian Qur'an-pun juga tidak lagi untuk konsumsi ideologis politis dan kontemporer, misalnya sekelompok orang (!) ingin menyusun dasar kenegraan berdasarkan Qur'an sehingga negara tersebut menjadi negara Islam karena landasan konstitusionalnya. 

Urgensi pemikiran Kunto dalam konteks ini, adalah meletakan manusia sebagai faktor yang menggagas perubahan, manusia sebagai pelaku sejarah, manusia yang menentukan kualitas peradaban. Untuk itu tugas terbesar bagi manusia adalah menjadikan kalam Tuhan sebagai ide transformasi peradaban. Kader HMI dapat memainkan sebagai interpretator terhadap realitas sosial maupun kosmologis kemudian mendialogkan dengan kalam Tuhan. Akibat proses dealektika fungsional ini tentu membuahkan berbagai gagasan yang fundamental. Dari ide akan berkembang menjadi formulasi teoritis sebagai paradigma peradaban. Dari sini kader HMI telah menjembatani kemiskinan kebudayaan dalam Islam maupun krisis moral dalam setiap produk peradaban pada masyarakat barat. Dari perspektif ini kader HMI tidak lagi mempersoalkan antara ilmu umum yang sekuler maupun ilmu agama sakral. Kedua duanya telah kehilangan relevansi untuk didiskursuskan.

Secara historis kedua wilaya keilmuan tersebut telah melewati pendekatan metodelogis yang tidak utuh yang merupakan warisan dari tradisi filsafat yunani yang telah kehilangan kekuatan budayanya. Yunani masa lampau terbelah dalam dua kutub yang dikotomis, antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Keduanya menjadi akar yang memilari bangunan ilmu yang dualistis hingga hari ini. Krisis inilah yang akan dijawab oleh kerangka pemikiran kader HMI.

Oleh karena itu bagi Kunto, dimensi ke-islaman suatu bangsa (Indonesia) adalah bukan bersifat simbolism dan verbalism atau bersifat institusional dan konstitusionaal, melainkan lebih cenderung pada essensi atau nilai. Untuk itu kemestian bagi muslim untuk memberikan penafsiran baru terhadap gagasan Tuhan (Qur'an) menjadi ide-ide kebudayaan. Kemudian diolah menjadi dasar-dasar teoritis. Kemudian perjalanan teori mengalami pengujian pada dimensi ruang dan waktu tertentu, akibat proses teoritisasi dan perbenturan antra teori dan realitas empiris, maka lahirlah temuan baru yang lebih aktual sebagai tesa baru.

Bagi kader HMI, sebagaimana diktum historisnya, maka diperlukan sikap reflektif yang secara terus menerus mengkaji kalam Tuhan. Proses aktualisasi ini akan melahirkan ide-ide kebudayaan yang dapat menjadi kekuatan transformasi peradaban. Dalam konteks NIK, Kader HMI patut mengidentifikasikan dirinya sebagai manusia pilihan yang menjadi pelaku sejarah, kekuatan ide dalam transformasi peradaban. Transformasi peradaban bangsa diarahkan pada tercapainya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadilan sosial maupun berkeadilan ekonomi yang didasari oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara metodelogis ide perubahan itu merupakan proses eksplorasi manusia (kader cendekia) melalui dealektika transendental antara kalam kauiniyah dan kalam kauliyah. Proses dealiktika transendental ini kemudian membuahkan ide-ide teoritis yang selanjutnya dapat diderivasi menjadi pemikiran dan implementasi pembangunan. Dalam perspektif ini akan lahir moralitas dunia baru, moralitas yang berakar pada nilai-nilai obsolut transendental dan nilai-nilai relativisme kemanusiaan maupun nilai-nilai universal yang lain.


Elaborasi nilia-nilai tersebut menjadi kekayaan yang sangat penting untuk pembentukan kerakter integratif kader HMI. Kader HMI memiliki sudut pandang yang integral dan menjadi pisau analisis yang tajam dalam membedah realitas empirik kebangsaan. Untuk itu dalam perspektif kebangsaan kader HMI menjadi platform peradaban yang mereduksi dan mendekonstruksi kesenjangan dan ketegangan kultur maupun ideologis serta rasialis yang selama ini telah menjadi penjara bagi manusia. Selanjutnya kader HMI berperan sebagai kader peradaban yang menggagas atau mengartikulasi ide-ide civil Society melalui proses pendekatan “internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi” Agenda besar ini pantas menjadi cita-cita universal kader HMI dalam master plan perkaderan untuk nation development

0 comments:

Post a Comment