Saturday, April 18, 2015

Pentingnya Pendidikan Akhlak

Standard
           Sepanjang sejarah umat manusia masalah akhlak selalu menjadi pokok persoalan. Karena pada dasarnya, pembicaraan tentang akhlak selalu berhubungan dengan persoalan perilaku manusia dan menjadi permasalahan utama manusia terutama dalam rangka pembentukan peradaban. Perilaku manusia secara langsung ataupun tidak langsung masib menjadi tolok ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan akhlak selalu dikaitkan dengan persoalan sosial masyarakat, karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa.
Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang diabadikan dalam al-Qur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan dan Saba’ maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa “suatu bangsa yang kokoh akan runtuh apabila akhlaknya rusak” (Suwito 1995, hlm. 1). Dalam sejarah dunia mencatat misalnya pada masa kaum ‘Ad, Madyan dan Saba’ dicatat oleh al-Qur’an sebagai kaum yang memiliki kualitas akhlak yang rendah. Al-Qur’an senantiasa merujuk kaum ini untuk menunjukkan rendahnya kualitas akhlak manusia di beberapa bagian dekade sejarah. Pada dekade selanjutnya, akumulasi simbol kebobrokan akhlak adalah kaum Fir’aun dan Namrud yang hidup pada masa nabi Musa dan Ibrahim. Simbol selanjutnya yang disebut oleh al-Qur’an adalah Abu Jahal dan kaumnya yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw. Pada awal abad ke-20 yakni setelah Perang Dunia I simbol itu dialamatkan kepada Mustafa Kemal Attatruk (Ihsan Kasim 2003, hlm. 42). Dalam konteks dunia Barat simbol-simbol lain itu bisa dialamatkan kepada Sigmud Freud, Nietzsche, Lenin, Kalr Marx, dan Hitler. Bahkan tatanan yang lebih serius adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh negara Adi Daya seperti Amerika Serikat, Inggris atau Perancis. Pengaruh meraka berada pada tataran pemikiran yang secara langsung ataupun tidak langsung dalam merusak akidah, yang berarti dapat merusak akhlak manusia dalam bertuhan. Mereka yang menjadi simbol ini memiliki peranan penting dalam bidang pemikiran dan kelompok-kelompok sosial. Sehingga, muncul tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi secara halus merasuk ke dalam alam pemikiran para pemikir-pemikir muslim. Pengaruh tersebut sangat penting dalam membangun “persepsi” manusia dalam memahami sesuatu. Misalnya Sigmud Freud “menyebut ide-ide agama tentang Tuhan dan alam gaib sebagai ilusi karena konsep-konsep tersebut muncul dari keinginan manusia (human wishes) dan bukan dari realitas” (Lihat Erich 1950, hlm.12).
Sebenarnya Allah Swt menciptakan manusia hanyalah bertujuan supaya manusia itu beribadah kepada-Nya semata, yakni menjadi manusia pengabdi (Al-Dzariat : 56). Titik tekan pengabdian adalah akhlak Islam yang sangat menekankan kepada penganut­-penganutnya untuk berakhlak mulia. Dalam hadis disebutkan “inama bu’istu li utammima markim al-akhlak” (Sesungguhnya Aku diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak). Penjelasan hadis ini berartinya bahwa diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai rasul untuk menyampaikan risalah Allah sejak awal abad ke-7 Masehi secara tegas adalah tugas pokoknya sebagai penyempurna akhlak manusia.
Akhlak dalam Islam bertitik tolak dari pengabdian seorang kepada Allah Swt dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw yang menjadi teladan pribadi terbaik. Semua sifat dari perilaku, pikir dan sikap yang bertentangan dengan akhlak Nabi Muhammad Saw dianggap tidak berakhlak. Siti Aisyah r.a bila ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad Saw beliau berkata : “Akhlak Rasulullah itu adalah al-Qur’an”. Allah Swt berfirman : “Wa innaka la’ala khuluq ‘azhim" (“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) mempunyai akhlak yang paling mulia”) (QS. al-Qalam : 4). Karena itu, ia patut dijadikan contoh “laqad kana lakum fi rasulullah uswatun hasanah...” (“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu surf tauladan yang baik bagimu...”) (QS al-Ahzab : 21).
Bukti-bukti kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw di atas adalah nyata. Bahkan menurut seorang non muslim Michael H. Hart dalam bukunya berjudul The 1000 a ranking of the Most influential Persons in History memberikan pengakuan bahwa “Nabi Muhammad Saw memperoleh pengakuan sebagai tokoh urutan pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah” (Suwito 1995, hlm. 3). Kebesaran Nabi Muhammad harus diakui disebabkan oleh ketinggian dan kemuliaan akhlak yang dimilikinya.
Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan akhlak Islam pun pada hakekatnya diarahkan kepada terciptanya manusia yang berakhlak agung dan mulia seperti Nabi Muhammad Saw. Namun setiap orang memiliki pemahaman dan cara berbeda untuk mencapai akhlak agung dan mulia sebagaimana yang dimiliki Nabi Muhammad tersebut.
Kemuliaan akhlak Nabi Muhammad dalam sejarah membuktikan bahwa umat Islam dalam binaan Nabi Muhammad Saw pernah mengalami masa keemasan yang mencapai 1300 tahun lamanya. Masa keemasan ini adalah masa periode Madinah yakni pada masa Nabi Muhammad sendiri sampai wafatnya. Masa ini yang paling monumental adalah dirumuskannya “Piagam Madinah” yang memuat perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Ansar dan Yahudi serta sekutunya yang mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban‑kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan mereka bersama dalam kehidupan sosial politik (Suyuthi 1993, hlm. 22). Kenyataan dalam sejarah bahwa pada periode ini benar­-benar tercipta sebuah peradaban gemilang.
Pasca wafatnya Nabi Muhammad tahap selanjutnya melahirkan 4 (empat) khalifah yang benar – khulqfaurrasyiddin – Abu Bakar As Sidhiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang merupakan sebuah tahap revitalisasi ajaran dan penguatan akidah serta meneruskan proses yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Integritas para sahabat penerus Nabi ini sangat diakui dalam berbagai perspektif. Seperti ditegaskan oleh C.E.Bosworth bahwa “Periode empat khalifah dipandang sebagai zaman emas, suatu zaman ketika kebijakan-kebijakan Islam yang murni berkembang pesat, dan karena itulah gelar ‘yang mendapatkan bimbingan di jalan lurus’ diberikan kepada mereka” (C.E. Bosworth 1993, h1m. 24).
Tahapan selanjutnya adalah masa klasik yang pesat perkembangan terjadi periode 650-1250 M, masa ini oleh para ahli sejarah disebut masa klasik dalam sejarah perkembangan Islam. Umat Islam pada periode ini disebut “super power” yang berkuasa di sebagian besar negara-negara di tiga benua : Asia, Afrika dan Eropa. Wilayah kekuasaanya mencapai Spanyol di sebelah Barat dan India di sebelah Timur, daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia tenggara (Murodi dkk 1995, h1m. 33).
Masa ini merupakan masa kemajuan pertama yang dimulai dari tahun (550-1000 M, dan sekaligus mengalami masa disintegrasi kekuatan Islam yang terjadi sejak tahun 1000-1250 M. Zaman keemasan Islam terjadi dalam berbagai aspeknya yakni masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah lahir 750 M- 1250 M. Pada kedua periode ini menghasilkan para ahli bidang ilmu yang sangat berpengaruh antara lain : Washil ibn Atha’, Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al Busthami, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, Imam Al Ghazali, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, Ibn Hanbal, al Asyari, al Kindi, al Razi, al Farabi, al Maturidi dan Ibn Sina. Tokoh-tokoh ini menjadi simpul sejarah dunia Islam yang secara komprehensif bergerak dalam bidang dakwah Islam dan kehidupan nyata secara totalitas. Tokoh-tokoh ini benar-benar signifikan terutama membangun keseimbangan antara rasionalitas dan spritualitas. Tokoh-tokoh ini selain kuat dalam bidang pemikiran, juga kuat di bidang rasa, sehingga tidak dapat diragukan lagi bahwa mereka juga tergolong orang yang memiliki akhlak yang tinggi.
Namun sesudah masa ini, umat Islam dilanda perpecahan dan kejumudan membawa kemunduran. Kondisi ini disebabkan selain daerah-daerah yang tadinya berada ditangan umat Islam menjadi jajahan Barat, pada masa ini tidak banyak diketemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti masa sebelumnya yang memiliki akhlak tinggi.
Walau setelah masa ini, sempat memunculkan ide-ide kebangkitan dan tokoh-tokoh pembaharu yang membawa persatuan umat pada masa tiga Dinasti Besar (Disnati Turki Usmani, Safawi dan Mughol), namun pada awal abad ke-19 kekuasaan, wibawa dan kemakmuran tiga dinasti Islam tersebut berangsur menurun dan mundur. Beriringan dengan itu, banyak wilayah dunia Islam seperti benua Afrika, Timur Tengah dan India muncul pemikir-pemikir pembaharuan seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Hasan al ­Bana dan Bediuzzaman Said Nursi1. Memang kebangkitan itu begitu sulit dicapai karena sampai sekarang diakui langsung atau tidak langsung, mereka yang berusaha keluar dari dominasi Barat masih menemui kesulitan yang sangat mendalam (Bandingkan uraian Harun, 1990, hlm. 12-14). Disamping gagasan pembaharuan, para tokoh ini secara konsisten menjelaskan mengenai “hari akhir” dan penguatan akidah islamiah. 2
Salah seorang tokoh yang konsisten terhadap permasalahan umat di atas adalah Said Nursi dari Turki salah satu tokoh penting pada akhir abad ke-19. Said Nursi hadir untuk menjadikan umat ini beriman dan berakhlak mulia dan kembali berjaya sebagaimana jayanya umat Islam dahulu dan dapat mengamalkan agama sebagaimana para sahabat, Imam Malik mengatakan: "Tidak akan  pernah menjadi baik umat pada kurun  (abad) terakhir ini kecuali dengan cara perbaikan pada kurun umat yang terdahulu, yakni cara yang dibuat oleh Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat" (Hasan 2004, hlm.735). Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah pada abadku (sahabat) kemudian setelahnya (tabi'in) kemudian setelahnya (tabi'ut tabi'in)" (HR. Bukhari, Muslim). Ahmad dan Al-Makki (1998, hlm. 38) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masa sahabat adalah kurang lebih 120 tahun setelah bi'tsah atau wafatnya sahabat terakhir yaitu Abi Thufan ra. Kemudian orang-orang setelahnya, yaitu masa setelah sahabat adalah tabi'in masanya sekitar 70-80 tahun. Kemudian orang-orang setelah tabi'in adalah pengikut tabi'in, masanya sekitar 50-220 tahun.
Said Nursi muncul sebagai pembaharu yang ingin mengadakan perbaikan untuk “menyelamatkan iman dan Islam”. Said Nursi memiliki karakter pemikiran yang memihak kepada keimanan, pemahaman al-Qur’an, hari akhir dan integralitas keilmuan. Said Nursi adalah sosok pemberani dan gigih memperjuangkan umat Islam di Turki pada masa akhir kerajaan Turki Usmani yang mencetuskan gagasan pembelaan terhadap agama dan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Said Nursi merupakan salah satu orang besar yang berani menghadapi dan menyelamatkan umat manusia dari berbagai peristiwa berdarah dan penyimpangan terhadap fitrah manusia. Said Nursi juga menghalangi manusia agar tidak terjatuh ke dalam atmosfir kehancuran dalam kebudayaan mereka (Ihsan Kasim 2003, hlm. v). Said Nursi adalah salah satu tokoh yang mampu bertahan dari berbagai upaya Barat “menghancurkan” umat Islam dan akhlak umat. Bahkan sampai muncul Republik Turki, ia tetap konsisten berjuang menentang sekuleriasasi di Turki hingga menghasilkan sebuah karya “Risale-i Nur” yakni tulisan setebal 6000 halaman yang memuat pemikiran-­pemikiran tentang esensi keimanan dan nilai-nilai akhlak di abad ini. Said Nursi menginginkan adanya pembaharuan di Turki pada bidang pendidikan dan moralitas umat, yang waktu itu sudah mulai dirusak oleh Mustafa Kemal Attaruk (Wawancara Fatih, 2005). Karena itu, Said Nursi tampil dengan model sufi modern yang memadukan antara rasionalitas dan spritualitas, dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai rangkaian proses pendidikan akhlak.
Said Nursi dalam berbagai tekanan tersebut tidak kenal menyerah dengan tantangan dan penderitaan yang dialaminya dari penjara ke penjara, berbagai musuh menghadang. Walaupun otoritas negara yang kuat dan mekanisme pendidikan Islam yang ada di Turki saat itu dipengaruhi oleh sekulerisme yang disosialisasikan oleh Mustafa Kemal Atatruk, tapi Said Nursi tetap melakukan usaha menumbuhsuburkan ajaran Islam dan perbaikan dalam bidang pendidikan Islam, terutama upaya membumikan nilai-nilai akhlak di Turki.
Media Said Nursi dalam berdakwah adalah Risale-i Nur dan mengelola pengajian­pengajian. Sebab bagi Said Nursi meminjam istilah Syafii Anwar penyebaran Risale-i Nur merupakan “realisasi menyeluruh bagi para pemikir dan praktisi pendidikan yang handal yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan” (Syafii 1995, hlm. 153-154). Karenanya, Said Nursi berkeyakinan bahwa penyebaran Risale-i Nur merupakan realisasi menyeluruh bagi umat manusia dalam rangka membentuk kepribadian manusia yang seimbang rasionalitas, spritualitas dan kaya akan amal.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa periode kemunduran menyebabkan para pemikir untuk tampil mencarikan pemecahannya secara mendalam. Namun pada akhirnya, diagnosa awal dapat dikatakan bahwa penyakit umat terlalu kompleks dan beragam. Pada kondisi ini tampillah Said Nursi yang menjawab seluruh permasalahan umat. Pendidikan merupakan kunci utama untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat yang ada saat ini, khususnya pendidikan akhlak yang merupakan inti dari proses pendidikan.
Dalam kerangka pembinaan generasi muda Said Nursi merealisasikan ide pendidikan akhlak melalui Dershane yang dilakukan oleh Nur Jamaah3. Perkumpulan ini memuat beberapa garis besar kegiatan sebagai berikut :
1.      Mengkaji konsep interaksi kemodernan dan relegius;
2.      Berniat menegakkan kembali keruntuhan kerajaan Usmani dengan kembali kepada tradisi keilmuwan yang integralistik;
3.      Mengadakan kegiatan conversation (perbincangan), dan reading (membaca) tulisan Risale-i Nur;
4.      Menyebarluaskan ajaran Risale-i Nur kepada masyarakat;
5.      Mendirikan asrama yang menjadi pusat pendidikan. (Hakan, ilmi com.).

Secara garis besar kutipan di atas, kegiatan ini memiliki relevansi terhadap pengembangan pendidikan akhlak generasi muda yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Harus diakui bahwa pendidikan akhlak sebagai salah satu inti dari proses pendidikan dan bagi kemajuan suatu bangsa, maka pembaharuan di bidang pendidikan mutlak untuk diadakan karena maju mundurnya suatu negara diukur dari pendidikan dan out putnya.



1 Demi konsistensi dalam penulisan penelitian ini peneliti selanjutnya menggunakan kata “Said Nursi” yang merujuk kepada Bediuzzaman Said Nursi (1887-1960) sepanjang pembahasan penelitian ini, namun untuk tempat khusus dalam judul besar atau pada sub judul maka masih akan digunakan kata tersebut.
2 Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, telah timbul mulai abad ke 11 H / 17 M dengan kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan.
3 Istilah Nur Jamaah dalam bahasa Turki sering digunakan dalam istilah yang berbeda seperti : “Nur Telebesi” atau Nur Teleba”, Nurculuk atau Thalabun-Nur yang menunjukkan pengikut Said Nursi yang berada di Turki, secara khusus, namun Nur Jamaah ini sudah menyebar hampir ke beberapa negara. Jika istilah di atas diartikan dalam bahasa Indonesianya “Murid Nur”. Penulis menggunakan istilah Nur Jamaah atas pertimbangan bahwa istilah ini mudah dipahami dalam bahasa Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah dershane atau "The Nurcu Movement", "Halaqah" dalam bahasa Turki berasal dari kata “ders” yang artinya belajar sedangkan “hane” dalam bahasa Turki menunjukkan “tempat”, maka dershane dapat diartikan “tempat belajar” yang di kenal di Turki. 

0 comments:

Post a Comment