Saturday, April 18, 2015

Tujuan Pendidikan Akhlak

Standard
akhlak merupakan suatu cerminan atau tolak ukur terhadap setiap sikap, tindakan, cara berbicara atau pola tingkah laku seseorang itu baik atau buruk, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, terhadap sesama manusia, akhlak terhadap Allah Swt, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi akhlak merupakan fondasi atau dasar yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, agar setiap umat Islam mempunyai budi pekerti yang baik (berakhlak mulia), bertingkah laku dan berperangai yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas dalam penelitian ini arti kata akhlak bisa disamakan dengan kata etika, moral dan etiket. Namun hanya kata akhlak dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut perilaku lahir dan batin manusia. Karena, itu dalam penelitian ini, akhlak yang dimaksud adalah "pengetahuan menyangkut perilaku lahir dan batin manusia".
Penjelasan di atas menggiring pemahaman bahwa istilah pendidikan akhlak dimaksud dalam penelitian ini adalah "suatu kegiatan pendidikan yang disengaja untuk perilaku lahir dan batin manusia menuju arah tertentu yang dikehendaki".

Tujuan Pendidikan Akhlak
Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan berbicara tentang pembentukan akhlak, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam (al-Abrasyi 1974, hlm. 15). Demikian pula Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam (Marimba 1980, hlm.48-49).
            Akan tetapi, sebelum kita lanjutkan tentang tujuan pendidikan akhlak ada masalah yang perlu kita jawab terlebih dahulu dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak?. Menurut sebagian ahli mengatakan bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (Gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir (Mansyur 1961, hlm. 91). Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran bathin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan bathin. Orang yang bakatnya pendek tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian pula sebaliknya (Al Ghazali t.t., hlm. 54).
            Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh (Al Ghazali t.t., hlm. 90). Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cenderung kepada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk pada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).
            Imam al-Ghazali misalnya mengatakan bahwa: “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan. Dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian” (Al Ghazali t.t., hlm. 54). Pada kenyataannya di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang peril dibina dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-NYa, hormat kepada ibu bapak, saying kepada makhluk Tuhan dan seterusnya.
Akan tetapi keadaan sebaliknya juga menyatakan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan, dan pendidikan, terntaya menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela, dan seterusnya. Ini semua menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina agar akhlak generasi penerus kedepan menjadi lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.
            Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai sebagai dampak dari kemajuan teknologi. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia ini, baik itu berupa yang baik atau pun yang buruk, karena adanya alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televis, internet, faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat jujga banyak. Demikian pula dengan obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistic dan hedonistik semakin menggejola. Semua itu jelas membutuhkan pembinaan akhlak (Nata 2002).
            Jadi untuk membina agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi memerlukan membiasakannya melakukan perbuatan yang baik, dan diharakan nantinya dia mempunyai sifat-sifat tersebut dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan latihan itulah yang membuat ia cenderung kepada melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
            Pembinaan moral, pembentukan  sikap dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau Pembina pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak sewaktu kecilnya, akan merupakan unsur pentingdalam pribadinya. Sikap anak terhadap agamanya dibentuk pertama kali oleh orang tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru di sekolah.
            Latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa, membaca al-quran, sembahyang berjamaah di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang melakukanibadah tersebut. Latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak dan ibadah sosial atau hubungan dengan sesama manusia sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting daripada hanya sekedar kata-kata.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada 3 (tiga) aliran yang sangat popular, yaitu aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi (Abudin Nata, 2002). Menurut aliran nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.
Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan social termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak lebih percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Sementara aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu factor pembawaan anak dan factor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui berbagai metode (Arifin 1991, hlm. 13).
Aliran ketiga ini sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam al-quran yang berbunyi: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim terhadap anak-anaknya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anak-anaknya di waktu ia memberika pelajaran kepadanya. `hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam  dua tahun, bersyukurlah kepadaKU dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-KUlah kembalimu (QS : Luqman :13-14).

            Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Lukman Hakim, juga berisi materi pelajaran yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.
Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan membawa  fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadits tersebut di atas jelas sekali bahwa pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua terutaman ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsung kegiatan pendidikan.
            Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor yang paling dominan terhadap pembentukan akhlak anak didik adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa anak dari sejak lahir, sementara faktor eksternal yang dalam hal ini adalah dipengaruhi kedua orang tua, guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat. Melalui kerja sama yang baik antara 3 lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif (pengetahuan), apektif (penghayatan), dan psikomotorik (pengalaman) ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak.
Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan seperti yang disinggung dalam al-Qur’an yaitu membina manusia baik secara pribadi kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah. Tugas khalifah sendiri harus memenuhi empat sisi yang saling berkaitan yaitu pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat atau lingkungan di mana manusia berada, dan materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan. Dan keempat hal ini saling berkaitan, itulah sebabnya sering terjadi perbedaan dan tujuan pendidikan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, karena mereka harus memperhatikan faktor lingkungan di mana manusia itu berada (Mahmudah, tt., hlm. 56).
Berdasarkan penjelasan di atas, wajar kiranya Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadits, pemikiran yang serupa juga dianut oleh para pemikir pendidikan Islam, atas dasar pemikiran tersebut maka para ahli pendidikan dan pemuka pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam dengan merujuk kedua sumber utama ini (Jalaluddin 2001, hlm. 8).
Secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam kehidupan. Tokoh yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik dan bahaya berbuat salah" (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat menjadikan orang baik. Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti yang mulia dan terhindar dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan menggunakan kata adab atau ta'dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta'dib. Al-Attas menganggap bahwa proses pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79). Penjelasan al-Attas ini menggambarkan bahwa potensi akhlak berada pada Realitas Tertinggi yang merupakan titik sentral dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia itulah, maka mengatakan Ibn Miskawaih bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan atau bernilai baik (Badawi 1963, hlm. 478). , sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa'adat (kebahagiaan sejati/kebahagiaan yang sempurna). Pendapatan ini beralasan bahwa kebaikan itu merupakan tujuan setiap orang, factor anugerah Allah yang dapat mencapai kebaikan, disamping adanya kesungguhan berusaha dan berkelakuan baik (Miskawaih 1982, hlm. 41-45). Seperti yang disimpulkan oleh Suwito bahwa tujuan pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibn Miskawaih adalah terciptanya manusia berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan (Suwito 1992, hlm. 157).

Rumusan tujuan pendidikan akhlak seperti ini hakekatnya dapat dilakukan melalui membangun motivasi pribadi dan orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas kehidupannya selalu melakukan sesuatu dengan mengikuti akhlak nabi, baik dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi maupun terhadap orang lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi".

0 comments:

Post a Comment