Tuesday, April 21, 2015

Dinas Pendidikan Kota Medan terdapat 200 unit Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Medan.

Standard
4.2. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Medan terdapat 200 unit Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Medan. Objek penelitian ini adalah beberapa SMA di Kota Medan yang memiliki akreditasi yang berbeda fokus penelitian ditujukan pada keprofesionalan guru fisika. Pemilihan beberapa sekolah berdasarkan akreditasi berlandaskan pada teknik pengambilan data yaitu sampling purposive. Sampling Purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.(sugiyono.2010)
Penelitian ini menggunakan metode atau pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti adalah ujung tombak sebagai pengumpul data (instrumen). Peneliti terjun secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan dan menyesuaikan diri dengan aspek keadaan yang dapat mengumpulkan data yang beragam sekaligus dan peneliti juga turut berpartisipasi menjadi guru di sekolah untuk mendapatkan pengalaman empiris dengan harapan peneliti juga merasakan masalah lapangan yang akan diteliti.
Menurut Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahawa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan.
 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi yang berfungsi mengamati guru fisika sebagai subjek (partner) penelitian, kuesioner yang terdiri dari dua puluh butir pertanyaan, berfungsi untuk mengumpulkan data tentang pendapat dan pemahaman guru tentang standar penilaian, dan wawancara.
Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2012. Sesuai dengan prosedur penelitian terlebih dahulu peneliti mengurus surat penelitian yang dibutuhkan sebagai syarat administatif untuk melakukan penelitian ke sekolah yang akan diteliti. Pengurusan surat dimulai dari Kantor Dekan FMIPA untuk memperoleh surat dengan tembusan ke Dinas Pendidikan Kota Medan. Setelah itu peneliti mendapatkan sumber informasi untuk data penelitian di Kantor Dinas Pendidikan Kota Medan. Setelah sumber data diperoleh maka peneliti merancang untuk memilih sekolah untuk dijadikan objek penelitian. Selanjutnya, peneliti menyebarkan surat ke sekolah yang menjadi objek penelitian. Setelah surat penelitian direspon dan disetujui oleh pihak sekolah, kemudian peneliti menyampaikan tujuan penelitian dan melakukan observasi dengan masuk ke kelas bersama guru yang mengajar di sekolah tersebut. Peneliti melakukan pengamatan dengan memahami peraturan-peraturan yang ada seperti dalam Permendiknas dan Undang-undang.
Pada Standar Penilaian Pendidikan (Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007) dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Dengan digulirkannya Standar Penilaian Pendidikan tersebut, maka pengelolaan penilaian hasil belajar oleh tiap guru hendaknya memenuhi standar. Oleh karena itu, para guru perlu memahami kewajiban dan tugasnya dalam mengelola penilaian hasil belajar yang terstandar.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Standar Kompetensi Guru juga menguraikan bahwa standar kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru mata pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMA/MAK berkaitan dengan pengelolaan penilaian hasil belajar yaitu menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sekaligus memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah,maka guru sebagai tenaga pendidik harus mampu melaksanakan penilaian dengan benar dan terstandar. Terutama bagi guru-guru fisika profesional harus mampu melaksanakan penilaian terstandar. Dengan melaksanakan penilaian terstandar, guru  mengetahui tingkat pencapaian kompetensi yang diperoleh peseta didik serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh sebab itu, sangat penting bagi guru untuk memahami serta dapat melakukan praktik penilaian/asesmen yang sesuai dengan tuntutan KTSP.
Penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kelas, yaitu penilaian yang dilakukan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar. Penilaian berbasis kelas sering kali juga disebut asesmen berbasis kompetensi maupun asesmen otentik. Sistem penilaian terstandar telah tercantum dan dijelaskan secara rinci pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 pada tanggal 11 Juni 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan dan disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dari data di lapangan, terutama guru fisika, baik itu guru fisika yang belum memiliki sertifikat pendidik maupun guru fisika profesional ternyata juga belum maksimal dalam mengimplementasikan penilaian. Di sisi lain, masih banyak guru fisika yang belum mengetahui isi dari Permendiknas No. 20 tahun 2007 ini. Mekanisme dan teknik penilaian yang dilakukan oleh guru belum mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, masih cenderung menggunakan penilaian tradisional. Bahkan guru jarang menggunakan lebih dari dua teknik penilaian. Guru hanya menilai dan mengevaluasi hasil belajar peserta didik melalui tes tertulis dan penugasan. Penilaian seperti ini tentu hanya mencakup aspek kognitif peserta didik saja. Guru hanya melihat hasil penilaian itu hanya dari hasil-hasil ujian dan tidak ditemukan guru yang menggunakan draf penilaian untuk psikomotorik dan afektif. Padahal penilain yang benar adalah penilaian yang bersifat holistik: harus mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran baik aspek kognitif, afektif maupun sensori-motorik.
            Penilaian yang dilakukan oleh guru fisika di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Medan masih kurang sesuai dengan tuntutan KTSP. KTSP menuntut bahwa penilaian yang harus dilakukan oleh pendidik adalah penilaian otentik berkelanjutan. Artinya penilaian itu harus berdasar pada hasil belajar peserta didik yang berbasis kompetensi, individual, berpusat pada peserta didik, tak terstruktur dan open-ended, otentik, terintegrasi dengan proses pembelajaran, dan on-going atau berkelanjutan. Tapi pada kenyataannya, hasil penilaian hasil belajar peserta didik hanya dilihat dari angka-angka hasil ujian. Guru menilai hasil belajar peserta didik dengan membuat ujian dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda ataupun essay pada waktu yang telah ditentukan guru sebelumnya.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan seharusnya menurut BSNP adalah secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang dinilai meliputi persiapan kegiatan penilaian oleh guru dapat dilakukan dengan menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester, mengembangkan indikator pencapaian Kompetensi Dasar (KD) dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran serta mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.
Rancangan penilaian dapat dicermati pada silabus yang telah dimuat di KTSP masing-masing sekolah. Hal itu sesuai dengan uraian bagian (mekanisme dan prosedur penilaian) yaitu perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Selama proses atau setelah pembelajaran suatu KD, perlu dilaksanakan penilaian yang utamanya bertujuan untuk melihat seberapa jauh kemajuan hasil belajar siswa. Pelaksanaan hasil belajar oleh pendidik dapat dilakukan dengan  melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan, mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik, mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik, dan memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan harus disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar. Laporan hasil penilaian setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan umumnya dilakukan melalui wali kelas. Hendaknya pelaporan hasil penilaian dari guru kepada wali kelas menggunakan format laporan yang ‘terbaca’ dalam arti yang dilaporkan tidak sekedar nilai akhir saja, namun juga dilaporkan darimana nilai itu diperoleh, misalnya dilaporkan juga nilai rata-rata UH, nilai UTS, nilai UAS/UKK.
Untuk pelaporan berkaitan dengan deskripsi kemajuan belajar siswa, yang perlu dilaporkan adalah pencapaian kemampuan siswa yang sangat menonjol atau yang masih menjadi kelemahan. Selain itu laporan tentang perilaku dan perkembangan kepribadian juga harus dilaksanakan. Laporan perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran harus dilakukan dengan akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila memungkinkan maka perlu dibuat dalam format komputerisasi. Namun bila tak memungkinkan dengan komputerisasi maka dapat dilakukan secara manual.
Dari penelitian ini didapat hasil yaitu perolehan data umum tentang sampel penelitian yaitu danya beberapa sekoah yang dipilih berdasarkan akreditasi sekolah. Ada banyak hal yang dtemukan di lapangan seperti, beberapa guru yang telah berpengalaman mengajar hal ini ditunjukkan dengan perolehan status guru yang telah tersertifikasi, bahkan secara akademik ditemukan juga guru yang telah bergelar Magister. Akan tetapi beberapa guru yang belum bergelar sarjana juga ditemukan dibeberapa sekolah.  Hal ini menjadi sangat menarik bagi peneliti untuk mendata besarnya implementasi guru dalam melakukan standar penilaian di sekolah.
Untuk mendata itu peneliti melakukan penyebaran angket ke siswa, hal ini dilakukan untuk mendata besar implementasi yang dilakukan guru kepada siswa di sekolah. Menurut siswa bahwa guru hanya melakukan penilaian sebesar 60,77saja, hal ini sangat kurang kesempurnaaan dalam implementasi penilaian yang diharapkan sesuai dengan Badan Standar Nasional pendidikan.
Hasil yang ditunjukkan dari angket guru adalah sebesar 83,17 hal ini merupakan penguatan dari penilaian yang dilakukan siswa terhadap penilaian guru mereka di setiap sekolah sebesar 60,77. Dari hasil penilaian wakil kepala sekolah di setiap sekolah bahwa guru telah melakukan penilaian dengan baik, hal ini ditunjukkan dari hasil sebesar 80,00. Ini merupakan sebuah proses triangulasi yang peneliti lakukan untuk mendapatkan keakuratan penilaian kerhadap implementasi guru dalam standar penilaian di setiap sekolah. Rata-rata angket secara triangualasi didapat nilai sebesar 74,65.
Berdasarkan hasil pengamatan, kuesioner dan wawancara kepada enam guru fisika yang mengajar di beberapa SMA di Medan, mekanisme penilaian belum dilaksanakan dengan baik dan benar. Hal ini dikarenakan guru hanya memahi penilaian dilakukan pada tengah dan akhir semester saja, tidak ada nya manajemen sekolah yang tepat juga menjadi kendala pelaksaan penilaian yang berstandar. Fungsi dan manfaat RPP dalam kegiatan proses pembelajaran juga masih disalah artikan oleh guru. RPP disiapkan untuk melengkapi administrasi pendidikan. Pembuatan RPP karena tuntutan dari sekolah atau manajemen kelengkapan adminisrasi bukan keinginan atau motivasi diri untuk merencanakan dan merancang program pembelajaran yang efektif. Peneliti menemukan bahwa RPP dibuat untuk satu semester bahkan untuk satu tahun dan dikumpul kepada kepala sekolah. Guru fisika sangat jarang membawa RPP ke kelas, guru hanya membawa buku paket dan LKS yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar. Pelaksanaan yang terjai semua improvisasi oleh guru saja dan sangat kondisional.
Para guru juga mengeluhkan RPP yang selalu berubah-ubah. Mulai dari RPP yang biasa sampai dengan RPP berkarakter. Guru membuat RPP sesuai dengan tuntutan pengawas sekolah bukan sesuai dengan kompetensi tingkat satuan pendidikan. Selain itu sistem sekolah yang tidak baik juga mempengaruhi guru menjadi malas merancang proses pembelajaran. Tentu hal ini sangat tidak baik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran harus dirancang sehingga hasilnya efektif dan akurat.
Banyak pencapaian yang harus dilakukan guru yang diinginkan oleh pengawas sekolah atau tuntutan sistem menjadikan guru tidak lagi dapat melakukan proses pembelajaran dan penilaian yang sesuai dengan RPP yang telah di rencanakan. Sebuah wawancara yang dilakukan peneliti ke beberapa guru dalam pengalaman menulis RPP dan Implementasi pada pembelajaran di kelas.
Wawancara Guru pertama “ Penyusunan RPP merupakan suatu kewajiban bagi setiap guru yang akan mengajar di kelas. Namun dalam kenyataannya penyususnan RPP beserta elemen-elemen perangkat pembelajaran lainnya menjadi cukup merepotkan bagi para pendidik ( guru). Dalam kenyataannya di lapangan, mendapati keadaan seperti masa penyusunan RPP yang cukup mendesak menyebabkan guru mencari jalan pintas dengan cara mengkopi dari internet dan bukannya direvisi ulang, namun hanya sekedar diganti nama sekolah dan identitas lainnya.
Dikarenakan RPP diambil dari internet yang bukan berdasarkan karakteristik sekolah dan siswa yang bersangkutan, maka pada tiap-tiap tahapan pada RPP tidak sesuai dan dapat dikatakan jauh dari yang diharapkan. Alokasi waktu yang dituliskan di RPP sering tidak sesuai di lapangan. Misalnya di RPP dialokasikan 6 JP, tapi pada pelaksanannya meleset dan molor sampai beberapa pertemuan ke depan.
Format RPP yang tidak jelas, cukup membingungkan guru dalam penyusunannya. Sistem penilaian(assesment) yang ada di RPP ( dari internet) tidak dapat diberlakukan ke siswa adanya keterbatasan dalam fasilitas dan kemampuan sisiwa untuk melaksanakannya. Dari kesemuanya itu dapat menarik kesimpulan bahwa RPP masih jauh dalam implementasinya dalam pembelajaran.
Wawancara guru kedua “ Kurangnya mendapat pengetahuan mengenai RPP berkarakter, sehingga dalam pembuatan RPP juga harus bekerja sama dengan guru fisika lain yang ada di sekolah tersebut. RPP diambil melalui internet dan diedit bersama-sama teman guru fisika yang lain. Kendala di lapangan dalam kenyataannya sulit menerapkan RPP yang ada dengan kondisi dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. RPP terkadang memerlukan alat praktikum dan kenyataannya alat dan fasilitas disekolah kurang layak untuk di pakai walau tidak keseluruhannya. Alokasi waktu dan karakter siswa di sekolah sulit untuk diterapkan sesuai dengan RPP jadi materi tiap semester tidak maksimal disampaikan terutama pada BAB terakhir tiap semesternya.
Selain kesulitan dalam pembuatan RPP, Pembuat instrument penilaian, guru cendrung hanya melakukan penilaian kogntif, serta guru cenderung menggunakan soal-soal yang sudah ada di buku pelajaran  tanpa mengembangkan atau menganalisis soal tersebut apakah sesuai dengan indikator yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Format penskoran juga tidak jelas. Dalam menilai komponen afektif dan psikomotorik, aspek-aspek yang di observasi oleh guru fisika juga tidak jelas sehingga laporan penilaian pada umumnya hanya dilihat dari nilai kognitif peserta didik tanpa adanya laporan deskripsi kemajuan peserta didik.
Beberapa sekolah juga tidak mempunyai kisi-kisi soal, penulisan kisi-kisi hanya dilakukan di kertas selembar tanpa format. Akan tetapi ditemukan juga dari salah satu objek penelitian yang melakukan pembuatan instrumen dengan menggunakan format kisi-kisi yang baik dan mengguakan Bank soal, Hal ini dikarenakan pihak sekolah yang mematuhi peraturan yang di amanahkan oleh dinas pendidikan yang terkait di daerah tersebut.
Pelaksanaan remedial bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi juga belum tepat. Pembelajaran remedi yang diharapkan dalam KTSP minimal mencakup tiga kegiatan, yaitu: analisis kesulitan/kelemahan siswa, pelayanan pembelajaran remidi secara formal/informal, dan penilaian kemajuan belajar setelah pelayanan pembelajaran remidi. Fakta yang terjadi di lapangan, beberapa guru fisika mengatakan bahwa remedi dilaksanakan dengan membuat ujian ulang dengan soal yang memiliki karakter sama dengan soal ujian. Ada juga guru yang langsung menggunakan soal yang sama.
 Apabila peserta didik juga tidak lulus remedi, maka guru langsung memberikan penugasan. Banyak guru fisika mengatakan bahwa pelaksanaan remedi yang seperti ini diakibatkan oleh masalah waktu. Tetapi apabila dicermati dengan baik, waktu bukanlah masalah jika guru benar-benar merancang dan merencanakan pembelajaran.
Dalam implementasi KTSP diharapkan juga agar tingkat satuan pendidikan memiliki dan melaksanakan standar penilaian tersendiri. Tingkat satuan pendidikan dapat melaksanakan standar penilaian di atas standar penilaian minimal yang ditentukan oleh KTSP sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Dari enam sekolah yang dijadikan sebagai objek penelitian, belum ada sekolah yang memiliki standar penilaian sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa guru yang memiliki pengalaman yang dibawah sepuluh tahun mengajar memiliki rata-rata sebesar 69,30, Sedangkan guru yang telah mengajar diatas sepuluh tahun memiliki rata-rata sebesar 55,67. Hal ini menjadi temuan yang peneliti dapat dari angket siswa tentang penilaian yang dilakukan guru di dalam sekolah.
Sedangkan hasil yang diperoleh dari angket penilaian yang dilakukan oleh guru di sekolah, guru yang memiliki pengalaman diatas sepuuh tahun mengajar mempunyai rata-rata sebesar 76,33, dan guru yang memiliki pengalaman mengajar dibawah sepuluh tahun mengajar mempunyai rata-rata sebesar 70,33. Dan berdasarkan angket wakil kepala sekolah mengenai implementasi penilaian yang dilakukan guru di sekolah, untuk guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas sepuluh tahun mengajar sebesar 89,7, sedangkan guru yang memiliki pengalaman mengajar dibawah sepuluh tahun mengajar sebesar 67.
Dari hasil kuesioner dan wawanacara yang telah dilakukan, banyak faktor-faktor penghambat yang dihadapi guru yaitu:
1.     Kurang Sosialisasi dan pembianaan dari pemerintah. Serta tidak adanya pernyamaan persepsi yang dilakuakn oleh dinas pendidikan setempat sehingga guru melakukan penilaian yang menurut guru pahami.
2.     Sistem pengawasan sekolah yang masih lemah. Untuk merancang, melaksanakan, dan melaporkan hasil dan prestasi belajar peserta didik perlu dukungan dari sekolah.
3.     Adanya sistem penilaian dari sekolah, sehingga guru sulit untuk memperbaiki mekanisme tata cara penilaian yang berstandar.
4.     Minat dan motivasi peserta didik dalam mengikuti mata pelajaran fisika masih sangat rendah.

5.     Adanya persepsi bahwa penilaian yang berstandar hanya dari pemerintah yaitu melalui Ujian Nasional.

0 comments:

Post a Comment