Saturday, April 18, 2015

“Teori pendidikan akhlak”

Standard
Teori pendidikan akhlak secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam kehidupan. Tokoh yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik dan bahaya berbuat salah” (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat menjadikan orang baik. Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti yang mulia dan terhindar dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan menggunakan kata adab atau ta'dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta'dib. Al-Attas menganggap bahwa proses pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79).
Selain itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam. Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya keadaan ini ada dua jenis. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa karakter dimiliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat karakter itu dimiliki oleh jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan kedua jenis karakter dan kedua pendapat di atas Ibn Miskawaih menegaskan bahwa akhlak yang alamiah dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat mulia. Karena menurutnya pendapat pertama menyebabkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk norma dan bimbingan, kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak remaja dan anak-anak berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif (Ibn Miskawaih 1997, him. 56-57). Berdasarkan inilah Ibn Miskawaih menganggap perlu adanya pembinaan jiwa secara intentif dengan daya-daya akal. Pembinaan inilah yang dapat dikatakan sebagai (tahzih al-Akhlaq) pendidikan akhlak.
Menurut Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab pemikiran di bidang pendidikan akhlak maka secara umum pendidikan akhlak dapat dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak kepada mistik dan rasional bukannya tidak memiliki konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi pertumbuhan kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik kurung mendorong manusia untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).

Oleh sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan daya pikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya rasa pada diri manusia. Distingsi ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh dari pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia yang dinamis.

0 comments:

Post a Comment