METODOLOGI
PEMAHAMAN NIK
Upaya Mereform Visi dan Teologi
Posotvisme HMI[1]
Oleh: MHR. Shikka Songge[2]
Nilai
Identitas Kader (NIK) atau Nilai Dasar Perjuangan (NDP), oleh setiap kader HMI
diyakini sebagai landasan pemikiran gerakan keberagamaan. NIK-NDP, meskipun
telah sekian kali berganti nama, namun secara substansif maupun konseptual
redaksional tidak mengalami perubahan apapun. Perubahan nama itu lebih
merupakan sikap pragmatisme kader HMI yang tidak menguasai substansi NIK dan
NDP, teori sosial dan metodologi. Hal yang demikian ini sebagai gejala
kegamangan atau kepanikan dalam membaca realitas sosial yang fluktuatif tanpa
memiliki nalar dan analisis sosial yang cukup. Perubahan nama, mengandung makna
perubahan etika, visi, persepsi, kemudian mempengaruhi cara pandang, kesadaran
sosial, yang melahirkan prilaku sosial oleh kader HMI. Akan tetapi perubahan
nama tersebut tanpa disertai oleh perubahan etika, visi dan persepsi, maka
perubahan nama tersebut hanyalah sebuah refleksi sosoial temporal dan emosional.
Urgensi
Metodologi
Metodelogi,
berarti instrumen dalam proses intelektual yang berfungsi untuk memudahkan
seseorang dalam memahami sesuatu termasuk membaca naskah atau teks, agar dapat
dimengerti. Naskah atau teks lebih merupakan dokumen yang memiliki kandungan
yang luas, namun hanya dimengerti oleh sang penulis, karena dipengaruhi oleh
situasi sosial tertentu, seperti: budaya, ideologi, agama, etnis. Tentunya
keadaan yang demikian itu sangat mempengaruhi nalar intelektual seorang
penulis. Sehingga sebuha naskah terkadang mudah terbaca dan terkadang
memerlukan metode atau cara tertentu sehingga pesan yang tertulis dalam naskah
tersebut mampu dimengerti dan dirasakan manfaatnya. Oleh karena itu kebutuhan
terhadap sebuah metode sangat penting bagi seorang dalam membedah naskah yang
bersifat dokumenter. Tanpa metode, akan kehilangan arah bahkan menjadi sia-sia
usaha yang dilakukan. Untuk itu pembedahan terhadap NIK - NDP mutlak diperlukan
metode bagi setiap yang ingin memahaminya. Tanpa itu akan kehilangan orientasi.
Kebutuhan
terhadap sebuah metode didasari oleh permasalahan yang dihadapi. Artinya sebuah
metode akan mengikuti wilayah maslah yang dihadapi. Setiap wilayah permaslahan
menuntut penyelesaian atau poembahasan analitik saintifik dengan metode tetentu.
Bilamana suatu maslah tidak diikutkan dengan metode yang sesuai, maka akan
menghasilkan autput yang tidak diharapkan. Bahkan berujung pada kemandekan,
distruksi dan mungkin akan terjadi dekonstruksi pemikiram. Namun sebaliknya
pemahaman sebuah teks dengan metode yang tepat akan memberikan apresiasi,
proyeksi baru dan penemuan baru kearah pengembangan keilmuan Banyak fakta yang
tersajikan kepada kita, bahwa para saintifik muslim yang melahirkan pemikiran
Islam ideot, stagnan dan menggiring Islam menjadi agama marginal, agama
fatalis, akibat pilihan-pilihan metodelogis yang tidak relevan. Kemandulan
dunia islam lebih disebabkan oleh ketakberdayaan para ilmuan muslim yang
mengalamai kemandulan intelektual, kehilangan imajani, kematian spiritualitas
gerakan dan Islam menjadi agama anarkhis, fatalis dan anti transformasi dan
modernisasi.
Nilai
Dasar Perjuangan NDP-NIK secara historis maupun sosiologis kehadirannya tidak
hanya untuk memberikan muatan spiritual, tapi sekaligus sebagai kerangka
paradigmatik bagi kader HMI guna membangun visi dan etika gerakan kekaderan.
Kerangka paradigmatik ini selanjutnya dapat diformulasi menjadi platfom
pengembangan kreativitas budaya inteketual, budaya sosial, budaya kemanusiaan
kader HMI. Dengan platform tersebut proses perwujudan makna kemanusiaan
universal, melalui karya-kaya kreatif dan inovatof, yang bertujuan membangun
masyarakat madani atau civil society atau masyarakat yang diridlohi Allah SWT
akan tercapai. Dengan begitu pemahaman NIK-NDP lebih lanjut menjadi moral capital yang membangun refleksi
intelektual, kerja inteklektual kearah menjawab agenda pembangunan bangsa yang
terus mengalami eskalasi positivistik.
Dengan
begitu penggunaan kata NIK, jauh lebih relevan, dimana makna “identitas kader”
mengharuskan atau mensyaratkan setiap anggota HMI, dalam memaknai dimensi
kekaderannya maupun kemanusiaanya dengan selalu mengambangkan refleksi kritis,
refleksi kreatif dan refleksi inovatif, kearah penyempurnaan tatanan peradaban
dan pranata budaya masyarakat. Dalam konteks ini eksistensi kader atau
identitas kader HMI dapat dipotret melalui karya-karya kekaderan dan
kemanusiaanya yang senantiasa produktif. Untuk itu kata identas kader, jauh
lebih mengesankan makna kearifan manusia, keunggulan manusia sebagai hamba
Tuhan yang soliter, yang berbudaya humanis transformatif, dan mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan universal. Sedangkan kata “Paerjuangan”
berkecenderungan malahirkan kader HMI yang reaktif, revifalis, reaksioner dan
tidak mendasar. Selanjutnya izinkanlah saya untuk menggunakan sebutan Nilai
Identitas Kader.
Tinjauan
Historis.
Perumusan
NIK “NDP”, sejak awal merupakan produk Nurcholis Madjid. Gagasan dasar karya
cak Nur ini di dasari oleh kegelisahannya sebagai anak bangsa dan pimpinan
ormas kemahasiswaan pada saat itu, yang menyadari betul pertarungan ideologis
antara Kapitalisme dan Sosialisme, Islam dan nasionalisme, atau Islam dan
Kapitalisme. Dan akan dibawah kemana orientasi pembangunan bangsa, selama anak
bangsa belum menekukan dasar filosofi pembangunan yang berdimensi
ke-Indonesiaan yang pluralistik. Renungan inilah mendorong cak Nur setelah
perjalanannya mengelilingi Benoa Amerika dan Eropa, melakukan i’tikaf di
masjidil haram sambil menghatamkan al-qur’an, cak Nur menuliskan satu rangkaian
tematik yang berisi tuju konsepsi nilai yang menjadi paradigma pemikiran dan
aksi kader HMI.
Karena
dipandang penting peran yang diaminkan oleh HMI, maka naskah cak Nur ini
mendapat penyempurnaan oleh Endang
Syaifuddin Anshori dan Tsakib Mahmud, sebagai team yang direkomundasikan
oleh kongres Malang untuk menyempurnakan aspek teknis redaksional dan bukan
aspek konseptual substansif. Upaya menghadirkan konsepsi NIK sebagai sebuah
kerangka pemikiran dan aksi ini, dimaksudkan untuk pengejewantahan dua tujuan
dasar kehadiran HMI yang diprakarsai oleh Lafran Pane dan dideklaraskan oleh
para pendidirnya pada tanggal 5 Februari l947. Tujuan pertama, mempertahankan kemrdekaan negera Republik Indonesia dari
intervensi kolonialisme Internasional. Kedua,
menegakan syiar Islam di bumi Indonesia. Secara interpretatif kedua tujuan HMI
itu, memiliki makna dealektika kausal, bahwa tidak ada da’wah Islam tanpa ada
kedaulatan wilayah politik. Islam akan berkembang menjadi agama budaya dan
agama masyarakat, bila masyarakat Indonesia mempunyai kedaulatan negara.
Untuk
itu pada dataran historis maupun sosiologis dapat ditafsirkan, bahwa arti
kehadiran HMI senantiasa terkait secara signifikan dengan agenda ke-indonesiaan
maupun agenda ke-umatan. Dalam konteks ini eksistensi HMI berada pada dua pilar
tersebut. Orientasi perkaderan HMI memposisikan visi dan persepsi serta gerakan
HMI dalam kerangka merespon arus perubahan masyarakat dengan tidak
mempersoalkan wilayah kebangsaan dan wilayah keumatan. Namun bagi kader HMI
antar umat dan bangsa merupakan agneda yang integral dalam visi dan pemikiran
yang terpatri pada setiap kader HMI. Bahkan HMI pun telah membuktikan bahwa
sepanjang 54 tahun, HMI tidak pernah memisahkan kedua agenda "umat dan
bangsa" secara dikotomis dalam dinamika perkaderan. Berkaitan dengan itu,
maka kehadiran NIK yang merupakan kerangka formulatif yang mengintegrasikan
pandangan maupun visi pemikiran pada setiap kader HMI. NIK akan mengelaborasi
pluralitas kader dan berfungsi sebagai alat perekat ke dua pilar tersebut,
sehingga kader HMI mempunyai keutuhan visi dalam membawa masa depan bangsa
Indonesia secara totalitas dalam menghadapi berbagai perubahan, baik bersifat
intern maupun bersifat internasional. Dengan membangun visi integratif pada
kader HMI, berarti telah menjadikan HMI merupakan aset potensial yang strategis
dalam membentuk kepribadian bangsa serta membawa masa depan bangsa yang
menguasai peradaban besar.
NIK-NDP
Basic Contruction
Dalam
konteks tersebut NIK “NDP” berfungsi sebagai basic construction yang akan merubah sistem berfikir anggota HMI,
dari pemikiran yang bersifat etnisentrimse - ideologi-sentrisme - rasialisme -
patronalisme, agamisme, menuju kerangka pemikiran baru yang betul-betul
terbebaskan dan merdeka dari sekat-sekat tersebut, sehingga kader HMI menjadi
independen dan berpandangan universal. Upaya mewujudkan kualitas kader HMI yang
berpandangan universal, karena menyadari asas-asas kemanusiaan, bahwa manusia
berasal dari zat kosmos yang sama dan bersumebr pada zat illahi yang
transendet. Dengan begitu kader HMI tidak menjadikan faktor-faktor perbedaan
pada manusia sebagai alasan untuk tidak saling berinteraksi atau berkomunikasi
pada kepentingan yang bersifat kemanusiaan semata. Melainkan kader HMI
memandang faktor perbedaan sebagai agenda pluralisme yang menjadi potensi
pembangunan kebudayaan dan peradaban untuk umat manusia. Kerangka pemikiran
yang demikian ini menganalogikan bahwa seorang anak umat berhidmat dilingkungan
HMI maka ia telah mewakafkan dirinya menjadi anak soliter, modern dan universal.
Indikator
kemoderenan terlihat, manakala seorang kader HMI memiliki kemerdekaan berfikir
dan berprilaku tanpa mengenal batas budaya, agama etnis maupun ideologi.
Kemerdekaan cara pandang seorang kader HMI, akan melahirkan kualitas kader yang
independencia. Sifat independencia pada kader, menjadikan kader HMI akan
bersikap kritis, kreatif, inovatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran
yang transformatif. Dalam konteks ini proses kaderisasi HMI menjadikan setiap
anak manusia produk HMI berpandangan dan bersikap universal. Kesaradan terhadap
budaya universalisme merupakan kesadaran yang paling asasi dalam humanism.
Melalui tahap ini kader HMI dapat mendisain “ide” kemudian menjadi kerangka
pemikiran “teoritis” dari teori menjadi kerangka aksi atau prilaku. Jika setiap
pemikiran dilakukan secara kontinue dan diikuti secara gradual maupun holistis,
maka akan akan menjadi budaya, kemudian menjadi adat istiadat atau pranta
masyarakat.
Gambaran
NIK- NDP.
Untuk
itu sangat penting bagi kader HMI membedah muatan NIK agar dapat menemukan
esensi yang menjadi semangat atau spirit yang terkandung didalamnya. Paling
tidak terdapat tiga ide besar yang menjadi freem
of thingk, Pertama, ide tentang
eksistensi Tuhan sebagai penggagas awal sejarah kehidupan berbagai makhluk
(kausa prima), Kedua, ide tentang
eksistensi manusia sebagai pelaku sejarah, Ketiga,
idea tentang tugas kesejarahan manusia dalam mewujudkan peradaban manusia yang
berkeadilan sosial maupun berkeadilan ekonomi melalui prinsip ilmu pengetahuan.
Ketiga
agenda utama tersebut, merupakan rangkuman dari keseluruhan muatan NIK yang
terdiri dari VII bab tersebut. Sesungguhnya formulasi kandungan NIK, adalah
tidak lebih dari modifikasi ayat-ayat Tuhan yang disusun secara tematik,
sebagaimana sistematika NIK. Olehnya secara organik kandungan NIK tidak lain
dari pada susunan ayat-ayat Tuhan, kemudian diuraikan menurut dataran
problematika yang dihadapi oleh masyarakat muslim Indonesia. Karena itu baik
secara historis maupun sosiologis kehadiran formulasi NIK adalah diarahkan
untuk menjawab berbagai krisis yang sedang dihadapi, maupun dalam kerangka
menciptakan kerangka kebudayaan dan peradaban baru sebagaimana kecenderungan
yang dunia atau masyarakat yang terjadi.
Pada
tataran theologis ketiga pemikiran besar tersebut merupakan sintesa terhadap
konflik pemikiran yang terjadi pada abad pertama kelahiran Islam. Karena
konflik atau ketegangan kreatif antara aliran kalam jabarian dan aliran kalam
qodariyan, kemudian mu'tazilah dan asyarriyah, si’ah dan ahlussunnah waljamah,
yang pada puncaknya menjadi ketegangan politik antara daulah Abbasiah dan
Muawiyah. Ketegangan-ketegangan tersebut, mrupakan proses yang tidak disadari
sehingga memperlemah otoritas integritas umat dan otoritas intelektual umat
dalam menggagagas atau melakukan prakarsa tentang berbagai gagasan yang
berkaitan dengan transformasi maupun rekayasa peradaban. Untuk itu kehadiran
NIK bagi kader HMI dapat berfungsi sebagai metode kritis kearah terciptanya
sintesa baru yang yang bersifat postivistis.
Pilihan
terhadap format kebudayaan dan peradaban positivistis, mengingat kecenderungan
tatanan dunia dewasa ini sangat kuat didominasi oleh kultur ilmu pengatahuan
dan teknologis. Kultur ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian ini,
merupakan proses yang menghantarkan manusia menjadi mahlukyang berbudaya
soliter, berbudaya humanis, dimana seluruh umat manusia akan saling berdialog
dan berinteraksi secara transparan, tanpa mengenal sekat-sekat yang membatasi.
Proses humanisasi manusia yang menjadi produk positivisme ini, pada gilirannya
akan mengarah pada terbentuknya kebudayaan manusia yang universal.
Sebagaaimana
deskripsi problematika umat tujuh abad belakangan ini, memperlihatkan sejarah
buram umat, dimana umat Islam telah kehilangan supremasi, atau lagi menjadi
kekuatan yang disegani baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan
teknologis. Meskipun menurut tesis
Huntington, bahwa setelah keruntuhan komunis Uni Soviet, masyarakat Barat
akan menghadapi kebangkitan dunia Islam sebagai tantangan baru. Tesis ini
memang bernada optimisme terutama bagi kalangan Islam, namun secara empiris
sangat sulit dipertanggungjawabkan. Karena kita akui bahwa dunia Islam dewasa
ini terjebak dalam konflik internal yang berkepanjangan, lihat: Afganistan,
Pakistan, Aljazair, Irak, Libya, Palestina dan Turki, teramasuk Indonesia
negara-negara tersebut dalam sejarah dikenal sebagai poros kebangkitan dunia
Islam.
Pilihan
Metodelogi
Dr. Kuntowidjoyo, membagi
tiga tahapan perkembangan pemikiran manusia dalam penafsiran terhadap Al-Qur,an
sebagai sistem berfikir untuk pembentukan kebudayaan. Pertama, Al-Qur,an
sebagai ide mistik, Al-Qur,an sebagai argumen ideologis politis, alquran
sebagai kekuatan ide transformatif. Agust
Comte, membagi tiga tahapan perkembangan sejarah masyarakat, Pertama, tahap sejarah masyarakat
mistitisme, Kedua, tahap sejarah
masyarakat teologisme, Ketiga, tahap
sejarah masyarakat positivisme.
Mengkaitkan
taksonomi sejarah pemikiran masyarakat antara Agust Comte dan Kuntowidjoyo terdapat kesamaan pada tahap terakhir
yaitu ide dan Positivisme. Essensi Positivisme Aguste Comte adalah gagasan yang
mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertumpu pada semangat
rasionalisme dan empirisme. Seperti perkembangan teknologi informasi, teknologi
komunikasi, teknologi transportasi yang dicapai saat ini. Kecanggihan teknologi
tersebut merupakan sebuah proses kearah terjadinya revolusi sosial, yaitu
meretakan dinding-dinding diskriminatif yang membedakan relasi antara manusia
atas nama agama, idelogi, etnis, rasialis. Kehadiran peradaban postivisme
mewujudkan realasi kesetraan antar manusia, semua bentuk perbedaan atas nama
apapun mengalami fase akhir.
Positivisme
Comte ini merupakan penolakan terhadap ide tentang prima kausal, eskatologis
atau hal yang bersifat metafisika. Karena bagi Comte yang menganut falsafah materialisme sangat meyakini
bahwa materi adalah persoalan pertama dan mengalami fase kekekalan atau
keabadian. Nampaknya secara emprik gagasan atau falsafah materialisme telah
mempenagruhi kerangka keilmuan modern sampai kepada perkembangan teknologi
mutaakhir dewasa ini. Sedangkan Ide sebagai kekuatan transformasi yang
dikembangkan Kunto, saat ini memiliki kebenaran dalam konteks ruang maupun
waktu. Ide yang dimaksudkan Kuntowidjoyo, bukanlah idealisme dalam pemikiran
filsafat yang berakar pada Plato (!), melainkan ide sebagai gagasan yang akan
menentukan eksistensi manusia, yang berkaitan dengan konteks era informasi
dewasa ini. Setiap manusia yang beride,
ia akan mempunyai peluang, jika ia tidak mempunyai ide maka akan terjadi
sebaliknya atau kemanusiaan tanpa makna.
Dewasa
ini eskalasi teknologi komunikasi tidak hanya meretaskan hegemoni kemanusiaan
oleh sesama manusia, namun lebih dari itu teknologi telekomunikasi telah
meruntuhkan dinding-dinding kosmologi yang telah lamamenjadi penjara komunikasi
peradaban antara manusia. Era transparansi ini secara sinonim dapat diidentikan
dengan era era kosmologi bugil karena tidak ada lagi yang mampu menghambati
komunikasi antar manusia. dunia yang tembus pandang ini seakan-akan
memperlihatkan abad ini menjadikan manusia sebagai komunitas global yang hidup
dalam perkemapungan besar.(global village).
Dalam
perspektif inilah Kuntowidjoyo mengajukan sebuah pendekatan ide terhadap
al-qura'an. Bahwa qur'an tidak lagi didekati untuk membangun pemikiran mistis yang tidak dapat
difahami oleh logika rasional manusia. Sesuatu yang paradoksal bila kehadiran
Qur'an hanya berfungsi sebagai jimat yang kering dari makna sosial bahkan a
rasional. Dan pengkajian Qur'an-pun juga tidak lagi untuk konsumsi ideologis politis dan kontemporer, misalnya sekelompok orang
(!) ingin menyusun dasar kenegraan berdasarkan Qur'an sehingga negara tersebut
menjadi negara Islam karena landasan konstitusionalnya.
Urgensi
pemikiran Kunto dalam konteks ini, adalah meletakan manusia sebagai faktor yang
menggagas perubahan, manusia sebagai pelaku sejarah, manusia yang menentukan
kualitas peradaban. Untuk itu tugas terbesar bagi manusia adalah menjadikan
kalam Tuhan sebagai ide transformasi peradaban. Kader HMI dapat memainkan
sebagai interpretator terhadap realitas sosial maupun kosmologis kemudian
mendialogkan dengan kalam Tuhan. Akibat proses dealektika fungsional ini tentu
membuahkan berbagai gagasan yang fundamental. Dari ide akan berkembang menjadi
formulasi teoritis sebagai paradigma peradaban. Dari sini kader HMI telah
menjembatani kemiskinan kebudayaan dalam Islam maupun krisis moral dalam setiap
produk peradaban pada masyarakat barat. Dari perspektif ini kader HMI tidak
lagi mempersoalkan antara ilmu umum yang sekuler maupun ilmu agama sakral.
Kedua duanya telah kehilangan relevansi untuk didiskursuskan.
Secara
historis kedua wilaya keilmuan tersebut telah melewati pendekatan metodelogis
yang tidak utuh yang merupakan warisan dari tradisi filsafat yunani yang telah
kehilangan kekuatan budayanya. Yunani masa lampau terbelah dalam dua kutub yang
dikotomis, antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Keduanya menjadi
akar yang memilari bangunan ilmu yang dualistis hingga hari ini. Krisis inilah
yang akan dijawab oleh kerangka pemikiran kader HMI.
Oleh
karena itu bagi Kunto, dimensi ke-islaman suatu bangsa (Indonesia) adalah bukan
bersifat simbolism dan verbalism atau bersifat institusional dan
konstitusionaal, melainkan lebih cenderung pada essensi atau nilai. Untuk itu
kemestian bagi muslim untuk memberikan penafsiran baru terhadap gagasan Tuhan
(Qur'an) menjadi ide-ide kebudayaan. Kemudian diolah menjadi dasar-dasar
teoritis. Kemudian perjalanan teori mengalami pengujian pada dimensi ruang dan
waktu tertentu, akibat proses teoritisasi dan perbenturan antra teori dan
realitas empiris, maka lahirlah temuan baru yang lebih aktual sebagai tesa
baru.
Bagi
kader HMI, sebagaimana diktum historisnya, maka diperlukan sikap reflektif yang
secara terus menerus mengkaji kalam Tuhan. Proses aktualisasi ini akan
melahirkan ide-ide kebudayaan yang dapat menjadi kekuatan transformasi
peradaban. Dalam konteks NIK, Kader HMI patut mengidentifikasikan dirinya
sebagai manusia pilihan yang menjadi pelaku sejarah, kekuatan ide dalam
transformasi peradaban. Transformasi peradaban bangsa diarahkan pada
tercapainya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadilan sosial maupun
berkeadilan ekonomi yang didasari oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara
metodelogis ide perubahan itu merupakan proses eksplorasi manusia (kader
cendekia) melalui dealektika transendental antara kalam kauiniyah dan kalam
kauliyah. Proses dealiktika transendental ini kemudian membuahkan ide-ide
teoritis yang selanjutnya dapat diderivasi menjadi pemikiran dan implementasi
pembangunan. Dalam perspektif ini akan lahir moralitas dunia baru, moralitas
yang berakar pada nilai-nilai obsolut transendental dan nilai-nilai relativisme
kemanusiaan maupun nilai-nilai universal yang lain.
Elaborasi
nilia-nilai tersebut menjadi kekayaan yang sangat penting untuk pembentukan
kerakter integratif kader HMI. Kader HMI memiliki sudut pandang yang integral
dan menjadi pisau analisis yang tajam dalam membedah realitas empirik
kebangsaan. Untuk itu dalam perspektif kebangsaan kader HMI menjadi platform peradaban yang mereduksi dan
mendekonstruksi kesenjangan dan ketegangan kultur maupun ideologis serta
rasialis yang selama ini telah menjadi penjara bagi manusia. Selanjutnya kader
HMI berperan sebagai kader peradaban yang menggagas atau mengartikulasi ide-ide
civil Society melalui proses pendekatan “internalisasi, eksternalisasi dan
objektivasi” Agenda besar ini pantas menjadi cita-cita universal kader HMI
dalam master plan perkaderan untuk nation development.
Jakarta,
24 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment